Bahkan tidak sedikit di antara para pejabat publik tersebut menghadiri perayaan Natal. Amien Rais yang sering dikelompokkan sebagai seorang tokoh muslim militan yang anti-Natal, misalnya, ketika menjabat ketua MPR sering terlihat menghadiri acara-acara Natal dan berbicara akrab dengan para pendeta dan pastor. Sikap Amien Rais ini semakin jelas ketika mencalonkan diri jadi presiden RI pada 2004. Amien Rais sering hadir dalam acara-acara yang diadakan umat Kristiani, baik itu di acara Natal, Paskah, maupun lainnya. Amien juga sering terlihat berada dalam lingkaran para pemimpin Kristiani.
Tidak demikian halnya dengan Hidayat Nur Wahid ketika menjadi ketua MPR. Hidayat, belum pernah terlihat muncul dalam acara Natal. Hidayat tampaknya konsisten terhadap ”larangan” mengucapkan Natal–apalagi menghadiri—acara perayaan Natal. Hidayat rupanya termasuk tokoh yang patuh terhadap fatwa MUI yang melarang umat Islam merayakan Natal. Bagi MUI, umat Islam yang ikut merayakan Natal, bahkan mengucapkan selamat Hari Raya Natal pun hukumnya haram karena merusak akidah. Merayakan dan mengucapkan selamat Natal, bagi MUI, sama artinya dengan mendukung keimanan umat Kristiani bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan.
Padahal bagi umat Islam, Isa Al-Masih seorang rasul Allah yang kedudukannya sama dengan rasul lain. Kenapa Amien dan Hidayat– untuk melihat dua ikon tokoh Islam yang berasal dari ”rumah” yang sama, Muhammadiyah–mempunyai perbedaan sikap? Mungkin karena Amien adalah tokoh muslim yang meski dibesarkan oleh Muhammadiyah (yang awalnya berbau wahabisme), tapi mengenyam pendidikan sekuler di UGM Yogyakarta dan Chicago University, AS. Sedangkan Hidayat, yang juga orang Muhammadiyah, besar dengan pendidikan di IAIN Yogyakarta dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Latar belakang inilah barangkali yang membedakan sikap Amien dan Hidayat dalam memandang Natal dan umat Kristen. Amien, meski dikenal seorang muslim militan–sama dengan Hidayat–tapi bisa menghayati makna pluralisme dalam kehidupan beragama dan bernegara. Jika pun Muhammadiyah disebut-sebut aliran yang mengadopsi wahabisme, tapi belakangan Muhammadiyah kelihatan makin condong ke ahlus-sunnah waljamaah.
Bahkan di kalangan muda Muhammadiyah–seperti ditunjukkan dalam aktivitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pola-pola wahabisme (yang puritan dan anti-Natal) mulai dijauhi. Sikap Muhammadiyah ini– sebagaimana dikatakan AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional, dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (2009)–sangat positif bagi perkembangan kehidupan beragama di Indonesia.
Wahabisme dan Natal
Wahabisme adalah paham dan gerakan Islam yang didirikan Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke-18. Abdul Wahab disebut-sebut sebagai founding fathers Kerajaan Arab Saudi. Paham ini mengembangkan puritanisme, militanisme, dan ekstremisme.
Menurut wahabisme, umat Islam saat ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni, sehingga diperlukan gerakan untuk memurnikannya dengan jalan kembali kepada Alquran dan hadis. Pernyataan bahwa umat Islam harus kembali kepada Alquran dan hadis memang tidak ada yang salah, sebab keduanya merupakan sumber primer dalam Islam. Tapi slogan tersebut menjadi masalah karena dimodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritan absolut. Wahabisme menganggap hanya doktrinnyalah yang benar, yang lain salah dan kafir.
Wahabisme menolak tasawuf, tawassul, rasionalisme, dan pandangan lain yang dianggap tidak berasal dari Islam. Dalam melakukan misinya, wahabisme menggunakan istilah bidah, bagi perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang tidak ada padanannya dalam Alquran dan sunah Nabi Muhammad. Siapa pun yang melakukan, berbuat dan bersikap seperti itu, dia telah melakukan bidah, dan setiap bidah adalah sesat. Lebih jauh lagi, wahabisme tidak hanya menganggap bidah terhadap orang-orang non-Islam, tapi juga menganggap salah terhadap ulama-ulama lain yang pandangannya bertentangan dengannya.
Tidak hanya ajaran tasawuf yang dianggap bidah, ajaran-ajaran lain yang menyimpang dari doktrin wahabisme pun dianggap bidah (Misrawi, 2009). Jika di Arab Saudi ada ulama terkenal, Imam Fakhruddin al-Razi, yang dianggap sesat; di Indonesia pun Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid serta orang-orang yang mempunyai pandangan keislaman yang sama dengan keduanya dianggap sesat. Kaum wahabi terkenal sangat anti terhadap orang-orang non-Islam (kafir). Salah satu fatwanya, jangan berteman dengan orang-orang kafir dan mengikuti kebiasaan mereka.
Orang-orang Islam yang berteman dan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir sudah termasuk kafir, bahkan lebih buruk dari orang kafir itu sendiri. Dari poin seperti inilah, kemudian muncul fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Merayakan Natal dan saling mengucapkan selamat Natal, menurut pandangan Wahabisme, adalah kebiasaan orang-orang kafir yang sesat. Pandangan ini jelas sangat mengganggu toleransi antarumat beragama dan meruntuhkan sendi-sendi pluralisme yang membentuk kehidupan modern.
Wahabisme menihilkan ayat Alquran surat Ali Imran ayat 113–114 ini, ”Di antara orang-orang ahli kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang saleh. Nabi Muhammad pernah bersabda, ”Orang Islam yang paling baik adalah yang menebar salam perdamaian dan memberikan makanan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak.”
Alquran dan hadis tersebut jelas jauh dari paradigma wahabisme. Wahabisme melihat sesuatu dengan sikap hitam dan putih; kawan dan lawan. Pandangan inilah yang akhirnya memunculkan benih-benih terorisme. Hampir semua organisasi yang mengusung terorisme, ideologi dasarnya–meminjam tesis AM Hendropriyono–berasal dari wahabisme itu tadi. Ciri-ciri wahabisme, misalnya, bisa tercium dari ceramah dan buku-buku Imam Samudera dan Abu Bakar Ba’asyir. Setelah menyadari ”ancaman” terorisme yang muncul dari ideologi wahabisme ini, Pemerintah Arab Saudi, yang semula sangat mendukung perkembangan wahabisme, kini mulai ”berpikir lain”.
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, misalnya, kini mulai bersikap terbuka dan mau berkunjung ke Vatikan. Anehnya pula, keamanan Arab Saudi pun kini sangat tergantung dari keberadaan tentara-tentara AS. Kekerasan dan ekstremisme wahabisme kini tampaknya mulai membahayakan ”tuannya” sendiri, sehingga perlu dijaga oleh tentara AS. Benar-benar sebuah dilema yang unik. Padahal semua itu adalah konsekuensi hukum alam belaka: siapa yang memelihara macan, jiwanya pun akan terancam terkaman macan itu sendiri.
Dari perspektif inilah, kita– kaum muslim Indonesia–hendaknya mulai mengkaji kembali fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut jelas tidak relevan dan mengganggu terwujudnya kerukunan beragama di negara yang penduduknya sangat plural seperti Indonesia. Para ulama Indonesia yang mengharamkan memberikan ucapan selamat Natal hendaknya melihat bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka, tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Kristiani di negaranya, tapi juga biasa ikut merayakan Natal di gereja.
Sri Paus, misalnya, pernah mengakui bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini. Ulama besar Mesir, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan Hari Raya Natal, tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen (Koptik) di gereja-gereja di sana. Itulah Islam yang penuh toleransi dan rahmat. Selamat Natal, semoga Tuhan memberkahi kita semua!(*)
M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
(//mbs)