Jika memandang manusia sebagai mekanisme sebab akibat atau memiliki perilaku hewani, maka semakin sulit menghabiskan waktu untuk mempelajari otak dan perilaku, kata Robert Sapolsky ahli neurobiologi dan primatologi di Stanford University.
Ia memperhatikan keunikan manusia sebagai unsur pembeda. Manusia menjadi begitu spesial karena semua bagian kecil pada otak memiliki kekuatan masing-masing.
Unsur mendasar di otak seperti sel-sel otak pada dasarnya hampir sama di seluruh spesies.
Namun, manusia memanfaatkan jumlah sel syaraf yang lebih banyak dan jaringan otak rumit untuk mencapai tingkat pemahaman kognitif yang tak tertandingi.
“Kami melihat adanya kesamaan fisiologi namun dimanfaatkan dengan cara yang berbeda,†kata Sapolsky.
Hewan mungkin berbagai gen dengan manusia seperti agresi, empati dan budaya berdasarkan motif tertentu. Namun, manusia memanfaatkan ini lebih paralel dibandingkan hewan.
Simpanse dan hewan lain mungkin tampak memahami pikiran atau motivasi lain. Namun, tidak. Hewan ini juga tidak mampu berpikir dari sudut pandang orang ketiga.
Padahal, kemampuan ini menjadikan manusia dapat menikmati segala spesialisasi kehidupan seperti cerita menarik, intrik dan gosip, ujar Sapolsky.
Empati secara nyata juga tidak dikenal pada simpanse. Hewan tersebut tidak mampu membedakan agresivitas kepada objek yang tampak tidak bersalah.
Namun, manusia dapat memperpanjang empati, bahkan di ruang dan waktu yang berbeda, dan berusaha memahami perasaan spesies lain.
Meskipun begitu, Sapolsky menyadari proses berpikir dengan tingkat intelektualitas tinggi pada manusia juga bisa rusak.
Depresi dianggap sebagai salah satu pengecualian besar dari penyakit mental yang bisa menimpa hewan dan manusia.[ito]