Allah SWT telah memberikan berbagai kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya. Puncak kenikmatan yang dirasakan adalah ketika umat manusia di akhir zaman terpilih sebagai umat Muhammad SAW, pembawa peringatan dan kabar gembira. Beliau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membuka mata yang buta dan telinga yang tuli, serta menggugah hati yang lalai.
Ya, karunia terbesar yang telah Allah berikan kepada umat manusia, bahkan bagi alam semesta, adalah diutusnya nabi yang merupakan makhluk termulia dari seluruh makhluk ciptaan-Nya itu. Beliau memperhatikan nasib umatnya, bukan hanya di dunia, tapi juga sampai di akhirat kelak.
Karunia tersebut tak ternilai harganya. Syari’at yang dibawa Nabi telah mengangkat harkat kaum wanita dari sejarah kelam umat manusia yang selama berabad-abad telah menghinakan mereka. Lewat syari’at yang dibawanya pula, derajat seorang ibu di hadapan anaknya diletakkan dalam kedudukan yang amat mulia. Anak-anak yatim menempati kelas terhormat sebagai kesayangan beliau, sedangkan yang menyayangi mereka kelak akan mendampingi beliau di surga. Para budak pun berangsur-angsur terbebaskan dari cengkeraman kezhaliman yang telah lama mendera.
Tak terhitung banyaknya manusia yang terangkat derajatnya berkat kehadiran dan kedudukan beliau di sisi Rabb-nya. Ya, beliau memang seorang manusia tapi tidak seperti manusia kebanyakan. Beliau manusia istimewa.
Kehadiran manusia istimewa ini di alam dunia tentunya berawal dari saat kelahirannya. Kelahirannya itu populer dengan sebutan “Maulid Nabi”.
Media Pengingat Umat
Bila kepergian manusia biasa beroleh penghormatan sedemikian rupa, misalnya di beberapa event hari besar nasional lewat seremoni mengheningkan cipta untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah merebut atau mempertahankan kemerdekaan negara, apakah kehadiran manusia agung pilihan Allah SWT yang senantiasa berupaya melindungi umatnya sejak di dunia hingga akhirat kelak tidak lebih utama untuk dihormati? Wajar saja bila para pecinta Nabi memperingati hari kelahiran beliau, sebagai salah satu bentuk ekspresi cinta dan penghormatan yang mereka berikan.
Di samping itu, agar tak lupa, manusia memang harus banyak diingatkan. Sebab, manusia adalah tempatnya khilaf dan alpa. Apatah lagi, seiring berjalannya waktu, semakin jauh pula jarak kehidupan Nabi dengan umatnya. Namun demikian, jarak waktu antara generasi sekarang dan generasi beliau bukanlah halangan dalam mengenal pribadi nan sempurna itu. Sebab, segala ucapan dan tindakannya dikenang dan diamati oleh orang-orang yang hidup pada masanya dan disampaikan dari generasi ke generasi. Di kemudian hari ucapan dan tindakan beliau dibukukan menjadi kumpulan hadits. Tak dapat disangkal, tak ada manusia yang pernah mendapat perhatian dan dikenang seperti itu sepanjang umur dunia.
Diadakannya sebuah peringatan adalah salah satu cara untuk mengatasi kelupaan. Dalam kaitan ini, peringatan Maulid Nabi dapat menjadi media pengingat umat Islam agar senantiasa mencintai beliau, menaati syari’at yang dibawanya, dan meneladani akhlaq terpuji yang menghiasi dirinya sehari-hari. Hal-hal tersebut selalu dan harus selalu menjadi tema utama setiap majelis peringatan Maulid Nabi.
Karena itulah, dalam pendapatnya yang disiarkan secara luas melalui media online pribadinya, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, ulama besar dunia zaman sekarang yang kini menjabat ketua Persatuan Ulama Internasional, membolehkan perayaan Maulid Nabi sekaligus menyanggah anggapan bahwa merayakan Maulid Nabi SAW masuk dalam kategori bid’ah.
Perayaan seperti itu dibolehkan, guna mengingat kembali sirah perjuangan Rasulullah SAW, kepribadian beliau yang agung, dan misi yang dibawa beliau kepada alam semesta. Dalam fatwanya, Al-Qaradhawi melandaskan pendapatnya dengan mengatakan bahwa memperingati kelahiran Rasulullah SAW adalah mengingatkan umat Islam terhadap nikmat luar biasa kepada mereka. “Mengingat nikmat Allah adalah sesuatu yang disyari’atkan, terpuji, dan memang diperintahkan. Allah SWT memerintahkan kita untuk mengingat nikmat Allah SWT,” ujarnya.
Suka Cita Umat Rasulullah
Sejak dulu, Maulid Nabi memang selalu dikenang dengan beragam cara. Bahkan pada saat detik-detik Maulid Nabi sendiri, Allah SWT Yang Maha Berkehendaklah yang telah mengisyaratkan momentum tersebut sebagai momentum yang begitu bernilai dan layak dimuliakan.
Saat beliau dilahirkan, singgasana Raja Kisra terjungkal. Di belahan bumi lainnya, api abadi sesembahan kaum Persia yang selama ribuan tahun tak pernah redup, tiba-tiba mati begitu saja. Di kemudian hari, bahkan Rasulullah SAW sendiri memperingati Maulid-nya, dengan berpuasa di hari Senin, hari saat beliau dilahirkan.
Saat mengomentari berbagai peristiwa di atas yang dikaitkan dengan kelahiran Rasulullah SAW, Al-Qaradhawi mengatakan, karenanya, semangat memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada dasarnya adalah semangat dalam menyambut kehadiran Islam itu sendiri.
Benar yang dikatakannya, sebab singgasana raja Kisra dan api sesembahan Persia adalah simbol-simbol kebathilan yang akan disingkirkan oleh cahaya hidayah yang memancar dari ajaran syari’at yang dibawa Rasulullah SAW.
Maka, dari waktu ke waktu, dengan cara-cara baik dan berbeda-beda, setidaknya sekali dalam setahun, umat Islam pun mengenang dan memperingati Maulid Nabi sebagai momentum yang amat istimewa. Bahkan disebutkan, momentum hari kelahiran beliau merupakan hari raya terbesar umat Islam, melebihi kebesaran hari-hari raya Islam lainnya. Sebab, tanpa hari Maulid Nabi, bagaimana mungkin ada ‘Idul Adha maupun ‘Idul Fithri.
Hari istimewa itu memang selalu mendapat tempat istimewa di hati umat Islam. Mereka senantiasa mengenang dan merayakannya dengan penuh suka cita.
Kehadiran beliau merupakan hadiah terindah. Sehingga, merugilah setiap orang yang tidak berupaya mengambil hadiah itu. Sedangkan Rasulullah SAW sendiri mengatakan, “Aku adalah rahmat Allah yang dihadiahkan untuk kalian.”
Dari sini jelaslah, segenap upaya yang dikerahkan dalam memperingati Maulid Nabi SAW merupakan usaha untuk meraih hikmah dari kenikmatan besar yang telah Allah SWT berikan. Dari sini pula muncullah kecintaan dan ketaatan di hati kepada beliau sebagai tanda keimanan. Mengimaninya adalah tameng keselamatan dari kebingungan di dunia dan akhirat. Sementara, berpaling dari ajarannya adalah kegelapan tak berujung yang menimbulkan kesengsaraan dan kehinaan selamanya.
Buah Cinta yang Harus Dipetik
Kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW akan membuahkan hasil dan faedah yang amat banyak. Yang terbesar dari faedah yang akan didapat terdapat pada tiga hal.
Pertama, ketaatan dan peneladanan, serta cermat saat melaksanakannya. Tidak jarang orang yang akan menaati perintahnya justru terjerumus masuk dalam dosa karena tidak cermat memahami maksud perintah itu.
Contoh kecil, taat pada suami dan orangtua adalah wajib, tetapi akan menjadi dosa ketika perintahnya berisi agar istri atau putrinya menanggalkan jilbab. Saling menasihati adalah perintah agama, tapi jika nasihat itu tidak diucapkan dengan santun, bukan pahala yang diterima, melainkan justru dosa yang tanpa disadari akan didapat. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi kalau kecintaan kepada Nabi SAW tumbuh secara tulus, memahami agama ini dengan bimbingan para ulama, dan selalu mengevaluasi diri atas tindak-tanduk sikap dan ucapan yang dilakukan setiap saat.
Seperti telah disebutkan, merayakan kelahiran Muhammad SAW memang merupakan amaliyah mulia dan bermanfaat sebagai media pengingat bagi umat. Tapi dalam beramal, termasuk mengadakan acara-acara keagamaan, tidaklah cukup bila hanya didasarkan niat baik. Bila karena penyelenggaraannya menyebabkan kepentingan umum terabaikan, kesan negatif terhadap Islam dan umatnya dapat saja muncul. Karenanya, seperangkat syarat berdakwah memang harus diperhatikan dan terpenuhi. Bila tidak, dakwah bukan hanya menjadi tidak efektif, malah dikhawatirkan menjadi modus yang tanpa disadari mencemarkan nama baik ajaran Rasulullah SAW itu sendiri, terutama di mata mereka yang belum memahami kemuliaan syari’at Islam.
Umat Islam di berbagai tempat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai cara mereka dalam mengekpresikan rasa cinta kepada manusia teragung sepanjang zaman itu. Berbagai aktivitas kebaikan dilakukan di dalamnya. Melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, memperdengarkan riwayat hidup Nabi yang sarat keteladanan, membaca shalawat bersama, menyampaikan nasihat-nasihat agama untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, hingga menyediakan hidangan makanan untuk memuliakan para tamu dan sebagai ungkapan rasa suka cita bersama dalam mengenang hari yang amat mulia.
Setelah itu, dapatkah kita, para pecinta Maulid, mengambil hikmah sepulangnya dari menghadiri acara tersebut? Apakah kita semua meneladani seluruh perilaku dan tindakan beliau SAW?
Itulah sebabnya para ulama mengatakan, momentum Maulid selayaknya bukan hanya diperingati setiap tahun, tetapi setiap saat, di setiap langkah kehidupan manusia di alam dunia ini. Dengan menghadirkan makna Maulid, sebagai media pengingat, setiap saat di hati pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan selalu terngiang, sebagai kendali kehidupan dalam menapaki jalan kebenaran menuju keridhaan Ilahi.
Oleh sebab itu pula, faedah kedua terbesar dari buah kecintaan pada Rasulullah SAW yang seharusnya dapat dipetik adalah keinginan sekuat tenaga agar kita keluar dari segala nafsu serta segala keangkuhannya. Nafsu adalah perusak segala ketaatan. Seseorang akan menolak kebenaran yang sebenarnya dia ketahui, enggan untuk mendengar nasihat, karena merasa bersih dan berilmu. Semua itu karena nafsu.
Dalam beribadah pun, nafsu ikut menunggangi tanpa diundang. Iman menjadi tidak sempurna. Bahkan, dapat saja ibadah menjadi gugur kalau seseorang menjadikan hawa nafsunya itu sebagai imamnya. Nabi SAW bersabda, “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mengalahkan hawa nafsunya, mengikuti ajaran yang aku bawa.”
Ketika rasa cinta kepada Rasulullah SAW benar-benar tumbuh di hati secara tulus, ia akan mengikuti seluruh ajaran yang beliau bawa. Hingga, ia pun berusaha sekuatnya menghindar dari hawa nafsunya. Tidaklah mungkin rasa cinta yang tulus akan terkalahkan oleh hawa nafsunya.
Faedah ketiga bagi mereka yang di hatinya benar-benar tumbuh rasa cinta kepada Rasulullah SAW adalah kesiapan untuk mengorbankan jiwa dan raga, zhahir dan bathin, untuk membela agama yang beliau bawa. Meski hidup kita tak semasa dengan kehidupan beliau, ketidakrelaan pada peremehan hukum-hukum Allah SWT merupakan salah satu bentuk ekpresi rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
Demikian pula, perjuangan guru dengan ilmunya, yang kaya dengan hartanya, yang miskin dengan tenaga dan doanya, para pejabat dengan jabatannya, dan seterusnya pada setiap profesi yang dijalani masing-masing, harus berpadu padan dalam berkorban, sebagai ungkapan cinta kepada Rasulullah SAW. Dengan itu semua, barulah hati beliau menjadi senang dan rela. Bukankah mencintai seseorang berarti kesiapan untuk berkorban agar hati orang yang dicintai menjadi senang karenanya?
Terlepas dari itu, yang penting untuk diingat, sesungguhnya umat beliaulah yang lebih butuh untuk mencintai beliau, bukan sebaliknya. Sayyidina Umar bin Khaththab bercerita, “Aku dan beberapa sahabat lain berjalan bersama Rasulullah SAW.
Kemudian beliau memegang tanganku seraya melanjutkan perjalanan.
Saat itu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, demi Allah aku mencintaimu.’
Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya kepadaku, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada anakmu, wahai Umar?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau kembali bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada keluargamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Beliau bertanya lagi, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada hartamu?’
‘Ya,’ jawabku.
Kemudian beliau bertanya, ‘Apakah cintamu padaku lebih besar daripada cintamu pada dirimu sendiri?’
‘Aku mencintai dirimu dari segala sesuatu kecuali atas diriku,’ jawabku.
Maka beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna iman seorang di antara kalian hingga diriku lebih kalian cintai dari kecintaan kalian pada diri kalian sendiri.’
Beberapa waktu kemudian aku kembali kepada beliau dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.’
Rasulullah mengatakan, ‘Baru sekarang, wahai Umar’.”
Saat diceritakan tentang hal itu, Abdullah bin Umar putranya sempat bertanya, “Ayahku, apa yang telah kau lakukan sehingga kau kembali guna menyatakan hal tersebut?”
Umar menjawab, “Wahai anakku, aku keluar dan bertanya pada diriku sendiri, siapa yang lebih membutuhkan pada hari Kiamat nanti? Aku, ataukah Rasulullah? Aku sadar, aku lebih butuh kepada beliau daripada beliau kepadaku. Aku ingat bagaimana tadinya aku berada dalam kesesatan, kemudian Allah menyelamatkan diriku melaluinya.”
Tak Kenal, maka tak Cinta
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah menuturkan sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas RA. Rasulullah SAW bersabda, “Semua nabi kelak di hari Kiamat akan didudukkan di mimbar mereka masing-masing yang terbuat dari cahaya. Mereka menduduki mimbar mereka, kecuali aku yang tidak mendudukinya. Aku berdiri di hadapan Allah karena hatiku diliputi perasaan takut, aku akan dibawa ke surga, sementara umatku aku tinggalkan.
Lalu aku berkata kepada Allah, ‘Ya Allah, umatku. Ya Allah, umatku.’
Allah berfirman, ‘Ya Muhammad, apa yang akan Aku lakukan kepada umatmu?’
Aku berkata, ‘Ya Allah, percepatlah hisab umatku’.”
Maka setelah itu umat Nabi Muhammad segera dipanggil untuk dihisab. “Di antara mereka ada yang masuk surga dengan rahmat Allah. Di antara mereka ada juga yang masuk surga karena syafa’atku.”
Beliau melanjutkan, “Aku terus memberikan syafa’atku kepada umatku, sampai-sampai aku diberikan daftar nama umatku yang mereka sudah digiring menuju neraka, hingga Malaikat Malik penjaga pintu neraka berkata kepadaku, ‘Ya Rasulullah. Tampaknya kau tidak akan memberikan (membiarkan) satu pun dari umatmu untuk mendapatkan adzab Allah SWT’.”
Demikianlah sosok manusia teragung yang amat besar kasih sayang dan perhatiannya kepada umat. Kesadaran untuk mencintai diri beliau akan terbangun bila kita mengenal secara mendalam keagungan pribadi beliau dan memahami kemuliaan kedudukan beliau di sisi-Nya. Majelis Maulid Nabi adalah salah satu ajang yang amat baik untuk menumbuhkembangkan kesadaran umat untuk mencintai beliau. Kesadaran itulah yang dahulu kala telah menghiasi hati para sahabat Nabi.
Sebuah kisah diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik RA, “Di tengah-tengah berkecamuknya Perang Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi SAW terbunuh, hingga terdengarlah isak tangis di penjuru kota Madinah.
Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya.
Di tengah-tengah jalan, ia diberi tahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya, dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang.
Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan.
“Siapakah ini?” tanya wanita itu.
“Bapakmu, saudaramu, suamimu, dan anakmu,” jawab orang-orang yang ada di situ.
Wanita itu segera menyahut, “Apa yang terjadi pada diri Rasulullah?”
Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.”
Maka wanita itu bergegas menuju Rasulullah SAW dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah. Aku tak akan mempedulikan (apa pun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!”
Bicara masalah cinta kepada Nabi, para sahabat adalah contoh terdepan dalam perwujudan cinta kepada beliau SAW. Cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan. Dan para sahabat Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengenal dan paling mengetahui kedudukan beliau SAW.
Hal tersebut sebagaimana tergambarkan dalam suatu peristiwa ketika Abu Sufyan bin Harb, sebelum masuk Islam, bertanya kepada sahabat Zaid bin Ad-Datsinah RA, yang tertawan kaum musyrikin dan dikeluarkan penduduk Makkah dari Tanah Haram untuk dibunuh, “Ya Zaid, maukah kalau posisimu sekarang digantikan oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?”
Serta merta Zaid menjawab, “Demi Allah! Aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!”
Abu Sufyan pun berkata, “Tak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”
Karena cinta, membiarkan diri beliau tertusuk sebatang duri pun hati tak rela. Karena itu, seseorang yang rajin menghadiri Maulid Nabi di sana-sini, dan mengaku mencintai beliau, selalu berharap akan syafa’at beliau, dan gemar menyenandungkan pujian kepada beliau, tidaklah pantas menyakiti hati beliau lewat perilaku sehari-hari yang tak terpuji.
Sejarah Berulang
Al-Quran telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir’aun, yang pada waktu itu paling berkuasa, mengaku dirinya tuhan. Saat itu, lahirlah seorang bayi bernama Musa. Kelak ia terpilih sebagai nabi yang membawa ajaran kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan. Selain kisah Musa AS, baik sebelum maupun sesudahnya, kisah-kisah dibangkitkannya seorang nabi memenuhi lembaran-lembaran sejarah di setiap zaman.
Pertengahan abad keenam Masehi, zaman seperti itu muncul kembali. Syaikh An-Nadwi melukiskannya sebagai puncak zaman hancurnya kemanusiaan. Akal, yang Allah berikan kepada mereka, digusur dengan minuman keras, yang sangat merajalela. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata-mata simbol seks dan pemuas hawa nafsu. Aqidah yang dibawa para nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri. Buku-buku suci yang dibawa para nabi, mereka gerogoti kewahyuannya.
Jazirah Arab waktu itu benar-benar dalam puncak kegelapan dan kerendahan moral. Sayyid Quthub menggambarkan, kezhaliman pada saat itu menjadi suatu keharusan. Jika tidak berbuat zhalim, pasti dizhalimi. Minuman yang memabukkan bukan hanya kebiasaan, melainkan sebuah kebanggaan. Berganti-ganti pasangan merupakan hal biasa. Wanita hanya dijadikan tempat pelampiasan nafsu bejat kaum lelaki. Kemanusiaan di Jazirah Arab saat itu benar-benar berada pada titik nadir.
Pada zaman itu, seseorang bernama Abrahah tiba-tiba berniat untuk menghancurkan Ka’bah, tempat yang sangat Allah sucikan. Suatu tindakan kebodohan yang demikian jelas. Abrahah benar-benar ingin menghancurkan Rumah Allah itu.
Ia dan pasukan gajahnya sudah berangkat dari Yaman menuju Makkah. Namun Allah Mahatahu akan niat jahat Abrahah. Sebelum mereka mencapai tujuannya, Allah segera mengirimkan burung-burung Ababil, menyebarkan kepada mereka batu-batu api neraka yang menghanguskan.
Pada tahun yang sama dengan peristiwa tersebut, terlahirlah seorang bayi nan mulia bernama Muhammad dari rahim suci seorang ibu bernama Aminah. Hari itu tepatnya tanggal 12 Rabi’ul Awal, tahunnya kemudian dikenal dengan Tahun Gajah.
Muhammad, dialah yang kemudian Allah pilih sebagai rasul pembawa risalah Islam. Kepadanya Allah turunkan Al-Quran sebagai petunjuk jalan kehidupan.
Setelah melewati berbagai gejolak perjuangan yang banyak menumpahkan darah dan air mata, muncul zaman baru yang sangat mengagumkan bagi bangkitnya kemanusiaan. Manusia yang benar-benar manusia, tunduk kepada Allah, Pencipta segala makhluk. Keadilan benar-benar ditegakkan, dan kezhaliman dihancurkan. Wanita dihargai kemanusiannya, minuman keras dilarang, karena merusak akal dan pikiran. Kejahiliyahan pun diperangi dan dimusnahkan.
Islam adalah agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Ajaran-ajarannya menjadi acuan bagi siapa saja, pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk meniti kehidupan yang lebih baik dan harmonis dalam ridha Sang Pencipta. Rambu-rambunya diletakkan untuk dijadikan pedoman perjalanan hidup untuk selamat sampai tujuan.
Jika ada rambu yang dilanggar, akibat buruk akan menimpa pelanggar itu, dan tak jarang juga menimpa orang lainnya. Lihatlah, sebuah kecelakaan di jalan raya, korbannya tidak hanya pelaku pelanggaran, tapi juga menimpa pengguna jalan yang lain.
Demikianlah. Zaman berganti zaman. Tujuh abad setelah masa keemasan Islam, umat manusia kembali diliputi kegelapan. Mereka banyak meninggalkan ajaran-ajaran agama yang telah menyelematkan kaum terdahulu dari kebinasaan. Kerusakan semakin menjadi-jadi. Hingga saat ini.
Potret kehidupan masyarakat zaman modern sekarang kembali penuh dengan proses penghancuran kemanusiaan, mirip dengan zaman Jahiliyah sebelum Nabi SAW dilahirkan.
Minuman keras disahkan, aurat wanita dipertontonkan, kezhaliman merajalela di sana-sini. Yang kuat memeras dan menghancurkan yang lemah. Ajaran Allah tidak dihiraukan, bahkan ditinggalkan. Orang-orang yang mencintai Allah dicemooh dan mendapatkan banyak tentangan, atau minimal banyak yang tidak menghiraukan ajakannya.
Jangan Kalian Lupakan
Dalam konteks seperti inilah Maulid Nabi memiliki peran sentral untuk menyadarkan umat akan nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada mereka, agar mereka dapat membangkitkan semangat untuk kembali menghidupkan sunnah-sunnah nabinya. Al-Qaradhawi mengatakan, “Ketika berbicara tentang peristiwa Maulid, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syari’at, dan sangat dibutuhkan.
Allah SWT memerintahkan demikian kepada kita dalam banyak firman-Nya. Misalnya,
‘Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikuruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kamu tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan (penggambaran bagaimana hebatnya perasaan takut dan gentar) dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.’ (QS Al-Ahzab: 9-10).
Allah SWT memerintahkan kita mengingat suatu peperangan, misalnya Perang Khandaq atau Perang Ahzab, di mana kafir Quraisy dan Suku Ghathfan mengepung Rasulullah SAW. Dalam kondisi serba sulit ini, Allah SWT menurunkan bala bantuannya berupa angin kencang dan bantuan malaikat.
Ingatlah peristiwa itu. Ingatlah, jangan kalian lupakan itu semua. Ini jelas menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk mengingat nikmat, dan tidak melupakannya. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,
‘Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya, dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.’ (QS Al-Anfal: 30).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ telah besepakat untuk mengkhianati Rasulullah SAW. Di Madinah, mereka membuat makar atau siasat, namun makar Allah SWT lebih kuat dan lebih cepat dari mereka. Allah SWT sendiri yang menyatakan hal itu dalam firman-Nya, ‘…Allah sebaik-baik pembuat makar’.”
Lewat nada bertanya Al-Qaradhawi menegaskan, perayaan Maulid Nabi bukan sesuatu yang bid’ah, bahkan dianjurkan. Katanya, “Peringatan Maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara Maulid seperti demikian, atas alasan apa Maulid Nabi masih disebut bid’ah?”
Fatwa Al-Qaradhawi tersebut dikeluarkannya untuk menjawab sejumlah pertanyaan umat Islam, antara lain, “Apa hukum merayakan Maulid Nabi SAW dan perayaan Islam lainnya, seperti perayaan tahun baru Hijriyah, Isra Mi’raj, dan lainnya?”
Di antara jawaban Al-Qaradhawi lainnya, “Termasuk hak kami adalah mengingat sirah perjalanan Rasulullah SAW dalam ragam peringatan. Ini bukan peringatan yang bid’ah. Karena kita mengingatkan manusia dengan sirah Nabawiyah, yang mengikatkan mereka dengan misi Muhammad SAW. Ini adalah kenikmatan luar biasa. Adalah dahulu para sahabat – semoga Allah meridhai mereka – kerap mengingat Rasulullah SAW di berbagai kesempatan.”
Di antara contohnya, Al-Qaradhawi menyebutkan, perkataan seorang sahabat, Sa’d bin Abi Waqash RA, “Kami selalu mengingatkan anak-anak kami dengan peperangan yang dilakukan Rasulullah SAW sebagaimana kami menjadikan mereka menghafal satu surah dalam Al-Quran.” Ungkapan ini, menurut Dr. Qaradhawi, menjelaskan bahwa para sahabat kerap menceritakan apa yang terjadi dalam Perang Badar, Uhud, dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk peristiwa saat Perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan.
Persatuan Umat
Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya agama, yaitu taqwa dan penghambaan. “Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.” (QS Al-Anbiya’: 92). Persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS Al-Fath: 26).
Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah adanya tekad kolektif dan kesabaran, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan melalui kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar.” (QS Al-Baqarah: 153). “Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS Ar-Rum: 60).
Melihat persatuan umat, musuh-musuh Islam merasa tersiksa. Loyalitas sahabat kepada Nabi SAW yang diwariskan kepada tabi’in serta ulama dan para pencinta beliau sangat meresahkan mereka. Maka mulailah mereka merancang untuk menjauhkan mereka dari Rasullah SAW dan ajarannya.
Dengan segala upaya yang bisa dirasakan, langkah itu sangat kuat aromanya, dengan munculnya perilaku yang tidak santun dan ekstrem dalam berpendapat tanpa mau mendengar hujah dan argumentasi orang lain. Pengkafiran, pensyirikan, pembid’ahan adalah syiarnya.
Mungkin dapat dimaklumi ketika itu hanya sebatas pembahasan dan kajian. Tapi kondisinya kini sudah mulai menjurus pada tindakan untuk membunuh saudara-saudaranya sendiri yang seiman. Kuman perpecahan ini sudah tampak nyata menyebar di Pakistan dan Irak. Mereka memecah belah umat dengan kebodohan orang-orang yang semangatnya membela agama tanpa didasari ilmu dan akhlaq yang mencukupi. Hingga, bukan pahala yang mereka dapatkan atau kejayaan agama, melainkan tepuk tangan musuh-musuh Islam.
Ditemukannya bom rakitan di Masjid Agung Cirebon pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tempo hari, yang alhamdulillah tidak sampai meledak berkat perlindungan Allah SWT, menjadi bukti: umat Islam di Indonesia pun berada dalam bahaya perpecahan, adu domba antar-sesama muslimin, menebarnya benih permusuhan sesama saudara seiman. Dampaknya tentu sangat merugikan umat secara keseluruhan.
Apabila umat ini rukun dan bersatu, tentu Nabi akan senang dan Allah pun akan ridha. Kalau umat bermusuhan, kekuatan pun akan hilang, musuh-musuh Islam kembali menari kegirangan. Umat Islam harus memilih: keridhaan Allah dan Rasul-Nya, atau kegembiraan musuh-mush Allah, yang akan senang dengan perpecahan umat.
Memuliakan Majelis Maulid
Memperingati hari lahirnya manusia mulia yang dimuliakan oleh Dzat Yang Mahamulia adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlaq Rasulullah SAW.
Namun yang perlu diingat, dalam memperingatinya, hendaknya tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama. Dengan demikian, amal baik yang dilakukan tidak terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta itu sendiri.
Sebagaimana dituturkan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, pengasuh Ponpes Al-Khairat Bekasi, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam peringatan Maulid Nabi SAW adalah seperti terjadinya ikhtilath, yaitu perbauran antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis. Banyak ditemui adanya wanita yang melantunkan bacaan Al-Quran atau membaca saritilawah di tengah kerumunan pria. “Ini dilarang agama,” katanya tegas.
Selain itu, para penceramah di majelis Maulid hendaknya juga tidak membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu) sebagai dalil yang mendukung Maulid Nabi. “Hal itu dapat menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menentang kegiatan peringatan Maulid Nabi. Rasulullah sendiri bersabda, ‘Barang siapa berbohong atasku (memalsukan haditsku), persiapkanlah tempatnya di neraka.’ Kita tidak butuh hadits-hadits itu sebagai hujjah penguat bagi Maulid. Banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait bolehnya perayaan Maulid,” katanya lagi.
Selain itu ia juga mengingatkan agar majelis Maulid tidak larut dalam gelak tawa yang tak terkontrol atau dengan bahasa yang tak layak diungkapkan di majelis yang mulia tersebut. Nabi sendiri melarang hal-hal tersebut. Hendaknya, pembicaraan pun tak keluar dari tema mahabbah kepada Nabi, rahmat, keteladanan, dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan kepada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para salaf, seperti dapat dibaca dari ceramah-ceramah Habib Ali Al-Habsyi, penyusun kitab Maulid Shimtud Durar, dan yang lainnya.
Yang terakhir, “Jauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, seperti untuk kepentingan partai dan kelompok-kelompok yang bertujuan menggalang massa dengan membeli dan membodohi para ulama yang mempunyai pengikut banyak dengan harga yang murah. Berapa pun uang itu sangatlah tidak sebanding dengan kesucian acara itu sendiri,” kata Ustadz Muhammad.
Semoga dengan kejujuran dan ketulusan dalam mencintai sang kekasih Allah ini, kita bisa menerima dengan lapang dada segala nasihat dari mana pun datangnya. Cinta yang tulus akan terbukti dengan keteladanan, bukan dengan hawa nafsu, apalagi sekadar menjalankan tradisi semata. Maulid Nabi harus menjadi mata air pelajaran yang jernih bagi umat dalam mengenal sosok Nabi Muhamammad SAW. Agar kemudian umat mendapatkan keberkahannya, meraih cintanya, meneladani akhlaqnya, hingga akhirnya kelak beroleh syafa’atul ‘uzhma, syafa’at teragung.
http://unityofislam.blogspot.com/2011/01/peringatan-maulid-nabi-muhammad-saw.html