Raibnya Manuskrip Qumran. Apa Sejatinya Misteri di Balik Itu?
Benarkah naskah-naskah kuno tulisan tangan yang berasal dari Qumran itu menyimpan maklumat yang bertentangan dengan ajaran Kristen?
Naskah-naskah yang berhasil didapatkan di Qumran mengungkapkan akar Jemaat Kristen abad-abad pertama. Tidak demikian halnya dengan jemaat Yahudi pengikut para pendeta "Rumah Suci" Jerusalem yang berkembang antara abad ke-5 S.M hingga kehancurannya di tangan Romawi pada tahun 70 M.
Pertikaian antara sekte Esenes di Qumran dan kelompok pendeta Seduki di Jerusalem telah ikut menguatkan keberadaan sekte Farisi yang dipimpin oleh kelompok rahib. Kelompok inilah yang dianggap sebagai pendiri Agama Yahudi Baru setelah habisnya era pendeta Rumah Suci pada penghujung abad pertama Masehi. Ajaran-ajaran mereka didasarkan pada penafsiran-penafsiran atas Taurat, belakangan dikenal sebagai Talmud.
Berkaitan dengan ini, naskah-naskah tulisan tangan Qumran memaparkan pertikaian yang terjadi dalam komunitas masyarakat Yehuda yang mengindikasikan bahwa -kalaupun bangsa Romawi urung melakukan pembantaian para pendeta Rumah Suci tahun 70 M- maka sesungguhnya gerakan Farisi dipastikan tetap akan melancarkan tekanan-tekanan yang pada akhirnya mampu menggeser konsep peribadatan kurbani yang menjadi substansi ajaran "Yahudi Pendeta Rumah Suci", dengan "Yahudi baru" yang berlandaskan pada pengkajian Taurat dan penafsirannya.
Yang menggemparkan Vatikan bukannya sesuai atau tidaknya naskah-naskah Qumran dengan ajaran Kristen, tetapi kontradiksi naskah-naskah tersebut dengan ajaran-ajaran yang dijejalkan oleh Gereja Romawi Timur kepada jemaat-jemaat Kristiani semenjak abad ke-2 M. Tidak diragukan lagi bahwa komisi yang berwenang atas naskah-naskah kuno itu telah mendapat tekanan dari pihak Vatikan sehingga tidak mempublikasikan naskah yang sekiranya berlawanan dengan ajaran Gereja Romawi. Pun tidak mustahil jika sebagian potongan-potongan naskah Qumran telah menemukan jalan menuju gudang perpustakaan Vatikan sehingga dengan demikian tidak akan pernah diharap akan dapat dikeluarkan.
Kita mendapati bahwa ajaran-ajaran yang termaktub di dalam naskah-naskah tulisan tangan jemaat Qumran, bahwa mereka itu sedang menantikan kedatangan sang guru bijak dan mereka beriman pada kebangkitannya. Hanya saja kita tidak menemukan sedikitpun penjelasan dari surat-surat Paulus berkenaan dengan kelahiran Almasih di Betlehem, kepergiannya dari Nazaret ataupun penyaliban Almasih oleh Penguasa Romawi. Tema-tema seperti itu tidak kita temukan pada surat-surat manapun dalam Perjanjian Baru, sebab tampaknya peristiwa-peristiwa tersebut tierkembang pada akhir abad ke-1 M di Roma dan gereja-gereja yang beraliansi kepadanya.
Dalam penafsiran atas Kitab Habakuk, yang ditemukan di Qumran disebutkan, Pendeta Jahat bertanggung jawab atas kematian Guru Bijak. Berdasarkan keyakinan Jemaat Qumran, bahwa para pendeta Rumah Suci di Jerusalem itu adalah pewaris "Pendeta Jahat". Sementara para pendeta Bait Suci mempersembahkan kurban sembelihan pada "hari pengampunan", dan pada hari yang sama jemaat Qumran cukup hanya dengan melakukan ritual makan malam tanpa kurban sembelihan, karena dalam keyakinan mereka justru yang menjadi kurban pada hari itu adalah guru mereka. Demikian pula bahwa peristiwa penyaliban Yesus oleh penguasa Roma, tidak pernah disinggung oleh Perjanjian Lama, dan justru naskah tersebut menyatakan tuduhan yang dialamatkan kepada para pendeta Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian Almasih.
Injil-injil Koptik yang diketemukan di Nag Hamadi -kawasan Mesir pegunungan- pun tidak menyebutkan persitiwa kelahiran di Betlehem dan penyaliban Almasih. Tema kelahiran dan penyaliban untuk pertama kalinya diketengahkan oleh empat Injil pertama Perjanjian Baru, penulisannya diperkirakan berlangsung sepeninggal Paulus pada awal tahun ke60 M dan berdekatan dengan tahun kehancuran Rumah Suci Jerusalem tahun 70 M. Dimaklumi bahwa sejarah Jemaat Qumran dan manuskrip-manuskrip mereka kembali pada masa sebelum lahirnya agama Kristen. Adanya kemiripan antara kepercayaan jemaat Qumran dengan gerakan kristen yang berkembang sesudahnya, semestinya dan harus ditafsirkan bahwa yang muncul belakangan dipengaruhi oleh pendahulunya. Oleh sebab itu, sejumlah peneliti semisal Geza Vermes dari Oxford, yang tidak sepaham dengan Eisenman dalam pemaparan sejarah berkaitan Naskah Qumran, berpendapat bahwa Yesus merupakan salah satu murid dari Jemaat Qumran.
Sedangkan Jeremis, dan peneliti-peneliti lain yang sebagian besar dari kalangan Yahudi dengan tegas menyatakan bahwa sebelum itu Yesus adalah pegikut Yahudi yang patuh dan Yesus bukan Almasih (Kristus), sebab Kristen itu dibangun oleh Paulus.
Agaknya kita sedang berada di antara dua kemungkinan; Apakah Kristen memiliki akar sejarah masa lalu, jauh sebelum masa Romawi atau apakah gerakan yang berkembang pada zaman Romawi itu telah mengadopsi ajaran-ajaran dari Jemaat Yahudi yang ada sebelumnya?
Kalangan penafsir bersandar pada kenyataan bahwa penulisan manuskrip-manuskrip kuno tersebut dilakukan pada zaman sebelum lahirnya agama Kristen, untuk menafikan adanya hubungan antara Perjanjian Baru dengan kisah-kisah Yesus. Mengingat bahwa faktor paling mendasar untuk mendefinisikan ada dan tidaknya hubungan antara Naskah Qumran dengan Kristen, tergantung pada masa penulisan naskah tersebut.
Sementara sebagian besar peneliti sepakat untuk menentukan kurun waktu antara pertengahan pertama abad ke-2 SM hingga pertengahan kedua abad ke-1 M, sebagai zaman penulisan naskah-naskah kuno tersebut, sebagian lainnya menentukan masa yang lain, yakni pertengahan abad ke-2 M, sehingga dengan demikian membuka kesempatan untuk melakukan penafsiran yang berisi informasi tentang Yesus. Herschel Shanks, Pimpinan Redaksi Biblical Archaeological Review yang terbit di Washington tahun 1993, menulis sebuah buku berjudul "Memahami Manuskrip-manuskrip Laut Mati", mengemukakan,
Ide dasar penafsiran yang dilakukan atas naskah-naskah yang ada bersandar pada masa sejarahnya, oleh sebab faktor terpenting dalam memberikan batasan urgensi naskah, serta ada atau tidak adanya hubungan dengan Kristen, amat bergantung pada penentuan masa penulisannya. Oleh sebab itu berdasarkan pendapat yang disepakati (yakni pendapat kelompok yang berwenang melakukan pengawasan naskah) bahwa naskah-naskah Qumran itu ditulis pada masa sebelum abad Masehi. Apa saja yang kemungkinan dapat merusak penentuan sejarah yang dapat diandalkan ini, dan mata rantai peristiwa sebagaimana didefiniskan oleh komisi dunia untuk setiap kelompok naskah, konon telah disembunyikan. Ketika masa sejarah penulisan naskah itu telah ditentukan jauh sebelum abad Masehi, sehingga dengan demikian, naskah-naskah kuno itu telah diselamatkan dari kemungkinan terjadinya pertentangan untara naskah kuno itu dengan Perjanjian Baru dan tradisinya. Dengan cara ini, komisi yang berkompeten telah melakukan sterilisasi naskah Laut Mati secara efektif dari materi-materi yang bisa menjadi bom waktu.... Komisi juga telah berusaha membuat jarak antara Jemaat Esenes di Qumran dengan Jemaat Kristen pertama, dengan mengesampingkan kepercayaan yang memiliki karakter Kristen yang cukup kental dalam tulisan-tulisan Jemaat Qumran. "
Barbara Theiring, Profesor di Departemen Kristologi University of Sydney di Australia berpendapat bahwa "guru bijak" yang tercantum dalam tulisan-tulisan Qumran tidak lain adalah Yohanes Sang Pembaptis. Pendapat ini dikuatkan oleh peryataan Otto Bitch, profesor di Universitas Gottingen Jerman, bahwa Sang Pembabtis termasuk salah seorang anggota Jemaat Qumran. Sementara Jose O'Callaghan, berusaha menetapkan bahwa ada beberapa bagian Injil Markus demikian pula Kitab Kisah Para Rasul dan Surat-surat Paulus kepada Jemaat Roma, juga ditemukan pada tulisan-tulisan kuno di Qumran. Meskipun O'Callaghan ini berasal dari ordo Yesuit di Spanyol, namun dia berafiliasi kepada Gereja Katolik, sebagaimana yang bertindak mempublikasikan pendapatnya adalah institusi Katolik seperti Biblica dan Civita Catholica.
Banyak sekali tekanan yang dialamatkan kepada anggota komisi manuskrip Qumran dan tuduhan telah menyembunyikan segala yang menetapkan adanya keterkaitan antara Jemaat Qumran dengan Jemaat Kristen abad pertama, bahkan tuduhan telah melakukan konspirasi bersama Vatikan untuk merahasiakan isi dari tulisan-tulisan kuno itu antara lain dari dua orang penulis Inggris, yakni Michael Bigent dan Richard Lee. Namun, tuduhan dari kedua orang penulis Inggris itu sesungguhnya adalah ide yang berasal dari Robert Eisenman dari Amerika Serikat, sebab Eisenman-lah yang menentang kesepakatan yang menetapkan bahwa Jemaat Qumran adalah orang-orang sekte Esenes yang pernah tersebut dalam tulisan-tulisan Philo, Josephus dan Pliny. Eisenman berpendapat, mereka itu sejatinya jemaat radikal Yahudi dan Guru Bijak yang memimpin Jemaat tidak lain adalah James, yang namanya tercantum dalam Perjanjian Baru sebagai "saudara tuanku". Eisenman mengatakan, James memimpin Jemaat untuk menentang penguasa Romawi antara tahun 66 dan 70 M, yang berakhir dengan pembakaran rumah suci Jerusalem.
Dalam pandangan Eisenman, Jemaat Qumran itu bukannya orang-orang sekte Esenes yang menentang kekuasaan para pendeta, akan tetapi mereka itu adalah kelompok Yahudi radikal yang berafiliasi kepada Ezra dan Saduki, dari golongan pendeta yang kembali dari Babel. Berdasarkan pada tesis ini maka Yohanes Sang Pembaptis dan bisa jadi Isa Almasih sendiri merupakan salah seorang anggota dari kelompok Yahudi Radikal yang berafiliasi kepada para pendeta Seduki. Lebih jauh Eisenman mengklaim bahwa Paulus - sebagai diketahui, Paulus telah mendirikan sejumlah gereja di wilayah imperium Romawi dan dialah yang mengajarkan Injil kepada penduduk Roma- tidak lain adalah "pendeta jahat" yang mencelakai "Guru Bijak". Akhir dari tesis Eisenman- yang tidak disetujui oleh seorangpun dari para peneliti naskah Qumran -adalah bahwa ajaran-ajaran Paulus itu tidak lebih dari heretik (bid'ah) Yahudi sedangkan agama yang benar adalah apa yang diajarkan oleh para pendeta Rumah Suci di Jerusalem. Adapun Yesus hanyalah seorang murid dari jemaat Yahudi dan tidak membawa ajaran yang baru. Eisenman juga menafsirkan bahwa lahirnya agama I
Mencermati tesis yang dilontarkan oleh Profesor di Departement of Oriental Studies di UCLA ini, ternyata sangat kental dengan sasaran-sasaran politik, lebih-lebih bahwa ide semacam ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Jenderal Yigael Yadin. Dia mengklaim bahwa tulisan-tulisan tangan di Qumran itu -yang merupakan bagian dari tulisantulisan kaum radikal Yahudi- sesungguhnya diketemukan di gua Qumran nomor:ll. Dengan demikian, Yigael Yadin merupakan orang pertama yang berusaha merubah karakter kumpulan manuskrip. Daripada mengikuti pendapat yang disepakati bahwa mereka adalah orang-orang sekte Esenes yang membelot dari kekuasaan pendeta rumah suci, Yadin justru menempatkan jemaat Qumran sebagai pembela para pendeta. Alasan di balik penyelewengan yang disengaja ini cukup jelas, yaitu merubah komposisi manuskrip-manuskrip Qumran sebagai dalil atas kegagalan kepemimpinan pendeta sehingga berbalik menjadi bukti kepahlawanan para pendeta itu dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan pendudukan Romawi.
Yang jauh lebih penting adalah, gerakan Kristen yang berkembang di tengah umat manusia pada zamannya, dianggap tidak lebih dari sebuah bentuk heretik yang diciptakan oleh Paulus, yang tidak berdasar pada syari'at kependetaan. Proyek kedua yang dicanangkan oleh Yadin bersama para ilmuwan semisal Eisenman, adalah mensosialisasikan tesis yang dirumuskannya itu kepada dunia dalam format akademis sehingga akan dengan mudah tersebar.
Di pihak lain, Departemen Arkeologi Israel berhasil membujuk Pater Milik -salah seorang dari delapan delapan peneliti yang ditunjuk oleh pemerintah Jordan pada tahun lima puluhan, sedangkan enam anggota yang lain telah meninggal dunia- untuk tidak memberikan komentar apapun tentang manuskrip Laut Mati.
Salah seorang anggota tim lainnya yakni John Strugnell, telah dilumpuhkan dengan menggunakan obat penenang.
Dengan demikian tidak ada lagi seorang saksi pun yang dapat memberikan keterangan atau menentang apa saja yang dipublikasikan oleh pihak berwenang di Israel, yang bermaksud mencampur adukkan antara naskah-naskah Qumran dengan naskah Masada untuk merubah karakter Jemaat di Qumran. Demikianlah bahwa impian untuk dapat mengetahui hakikat peristiwa yang berlangsung pada awal sejarah Kristen telah berubah menjadi proyek manipulasi sejarah terbesar di zaman modern.
Lalu apa sebenarnya yang membuat Vatikan gempar? Jawabnya adalah kontradiksi seputar zaman kemunculan Yesus. Pasalnya, Gereja Romawi telah mendapatkan wewenang, berdasarkan pada riwayat yang dipublikasikannya semenjak abad ke-3 M, yang antara lain dikemukakan bahwa Petrus, murid Yesus, telah datang ke Roma dan memberikan pelimpahan wewenang untuk mengeluarkan ajaran atas nama Yesus, kepada para pendeta yang ada disana, yang ia terima langsung dari Yesus sendiri. Jika benar bahwa Yesus hidup pada masa sebelum itu, maka klaim ini otomatis runtuh. Posisi dilematis yang dihadapi oleh Gereja Romawi yang berawal dari penemuan naskah Qumran ini, disadari oleh Eisenman dan Vermes, dan bermaksud mengeksploitasinya demi memenangkan penafsiran Yahudi atas peristiwa sejarah yang berlangsung.
Orang-orang Yahudi mengingkari bahwa Isa adalah Almasih, dan mereka masih menantikan kedatangan Almasih yang lain. Berdasarkan pada kepercayaan ini, berarti orang-orang Yahudi telah mendapatkan "pembenaran" dengan menyebarkan faham ini melalui mimbar-mimbar Kristen, tanpa ada yang menghalangi. Geza Vermes suatu saat muncul di sebuah layar televisi stasiun 4 di Inggris, di mana dia sedang berdiri di belakang pemandangan puing-puing Qumran, untuk mengatakan, "Sejatinya Yesus bukanlah Almasih. Dia adalah orang Yahudi yang baik yang mempelajari ajaran Yahudi dari Jemaat Qumran". Bahkan dilaporkan adanya proyek besar untuk menulis ulang Perjanjian Baru sehingga relevan dengan makna sejati Yesus seperti diinginkan oleh Yahudi, dan di pihak lain akan dapat mencuci tangan para pendeta Yahudi atas kematian Almasih.
Diterjemahkan dari Judul Asli
Makhtutat al Bahri al Mayit
Karya : Ahmad Osman
Copyright Maktabatu as Syuruq, Cairo,
bagian 1