TEMPO Interaktif, Kairo - Tahrir Square, Kairo, hari ini menyaksikan bersatunya umat Islam dan Kristen di Mesir. Kedua kelompok agama ini sembahyang bergantian dan saling menjaga satu sama lain. Mereka menolak perpecahan rakyat Mesir dan menyatakan bahwa revolusi ini adalah revolusi bersama.
Revolusi bersama ini dibuka oleh orasi dari Pendeta Fauzi Khalil pada pukul sepuluh pagi. Dia menyatakan bahwa revolusi ini adalah revolusi persatuan “Muslim dan Nasrani menuntut hal yang sama. Tak ada beda kita di sini,” katanya dalam orasi. Setelah turun dari panggung, dia menghampiri Syekh Salahuddin dari Al-Azhar dan menyalaminya. Lalu Syekh Salahuddin berkata: “Kami akan menjaga gereja, itu tanggung jawab kami.”
Pada pukul sebelas, misa dilakukan di tengah-tengah Tahrir. Dimulai dengan bismillah, Pendeta Fauzi membaca Mazmur. Setelah itu dia membaca doa yang diamini, bukan hanya oleh orang Kristen, tapi juga oleh umat Islam di Tahrir. Bahkan beberapa perempuan berjilbab dan pria muslim berjenggot ikut mengangkat tangan dan mengamini doanya. Setelah umat Islam melakukan shalat zhuhur dan janazah, misa kembali dilakukan.
Baik Fauzi maupun Shalahuddin mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan di Tahrir ini adalah atas nama pribadi. Lembaga yang menaungi mereka—Gereja Koptik dan Al-Azhar—memang tidak tegas mendukung demonstrasi di Tahrir, apalagi setelah Mubarak menyatakan akan mundur September nanti. Untuk urusan umat Kristen, koordinator demonstrasi memang menyediakan sayap khusus bernama Munazhim Aqbath. Merekalah yang mengkoordinir sembahyang bagi umat Kristen dan mendatangkan pendeta ke Tahrir.
Yel-yel persatuan juga diteriakkan oleh para demonstran. “Demi Injil demi Al-Quran, Mubarak harus keluar.” Atau “Ya Muhammad Ya Paulus, Mubarak tak boleh terus.” Sejumlah salib dan Al-Quran juga diangkat bersama-sama dengan latar belakang bendera Mesir.
Pernyataan persatuan ini penting, karena ada kelompok Islam yang berusaha mendompleng keberhasilan demonstrasi. Al-Ikhwan Al-Muslimun, misalnya. Kelompok oposisi terbesar ini kini maju untuk berdialog dengan pemerintah dengan alasan punya massa yang banyak di Tahrir. Demikian juga dengan pernyataan pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei, yang mengatakan bahwa revolusi yang sedang terjadi di Mesir adalah revolusi Islam.
Selama 12 hari terakhir Mesir terus bergolak. Gelombang demonstrasi menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak mundur dari kekuasaannya juga belum surut. Perserikatan Bangsa Bangsa memperkirakan 300 orang tewas, namun menurut Kementerian Kesehatan Mesir ada 11 orang tewas dan 5.000 orang luka-luka.
Qaris Tajudin (Kairo)
http://www.tempointeraktif.com