Benar saja, sejak bulan Oktober sudah banyak terjadi bencana banjir dan longsor di Indonesia. 4 Oktober terjadi banjir bandang besar di Wasior, Papua Barat yang menewaskan lebih dari 150 orang dan sekitar 150 orang hilang (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/10/21/brk,20101021-286172,id.html).
Banjir di Jakarta tanggal 25 Oktober telah melumpuhkan transportasi Ibukota yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Masih banyak lagi kejadian banjir yang terjadi sampai dengan hari ini. Untuk kasus Jakarta, bencana banjir terjadi hampir setiap tahun. Bahkan dengan kondisi Lanina seperti saat ini, Jakarta sangat mungkin mengalami banjir beberapa kali selama musim hujan periode Oktober 2010-April 2011.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta. Kanal banjir telah dibuat. Sungai banyak yang dikeruk. Gorong-gorong juga banyak yang diperbaiki. Tetapi Jakarta masih tetap banjir. Mungkin saja upaya-upaya itu belum maksimal. Mungkin saja memang daya dukung permukaan (tanah) Jakarta sudah tidak mampu menahan curah hujan yang secara alamiah memang mempunyai deviasi yang sangat besar dari nilai normal historisnya.
Oleh karena itu upaya-upaya di atas memang harus terus dioptimalkan. Namun demikian, sambil mengoptimalkan upaya peningkatan daya dukung permukaan, tidak ada salahnya jika dilakukan juga upaya mengurangi penyebab banjir itu sendiri yaitu curah hujan.
Ada sebuah berita yang cukup menggelitik penulis yaitu upaya Mischa Sui Moein -seorang artis yang tengah merambah dunia politik- untuk menawarkan program mencegah banjir Jakarta dengan cara mengurangi curah hujan menggunakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) (http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/mischa-su-moein-tawarkan-teknologi-anti-banjir-rp200-m.html). Teknologi tersebut sudah sering dipakai oleh China dengan menghabiskan biaya Rp. 200 Milyar setahun. Benarkah ada teknologi seperti ini? Apakah di Indonesia tidak ada? Dan apakah kita bisa melakukan dengan harga yang lebih murah?
Di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terdapat sebuah unit kerja UPT Hujan Buatan yang memiliki kemampuan untuk mengurangi curah hujan di suatu wilayah. Teknologi ini bisa digunakan untuk mengurangi banjir di Jakarta. Jika teknologi ini berjalan beriringan dengan perbaikan infrastruktur permukaan maka akan lebih efektif dalam berperan untuk mencegah banjir di Jakarta.
Selama ini UPT Hujan Buatan dikenal masyarakat sebagai unit kerja yang memberikan layanan jasa penambahan curah hujan (rain enhacement). Namun dalam perkembanannya, UPT Hujan Buatan juga terus melakukan penelitian untuk menghasilkan teknologi yang bisa mengurangi curah hujan (rain reduction). Teknologi rain reduction yang dioperasikan menggunakan pesawat terbang ini bekerja dalam 2 sistem pertahanan banjir.
1. Mencegah atau menghambat pertumbuhan awan di (dan hendak memasuki) daerah target dengan metode 'mekanisme persaingan' (competition mechanism). Metode ini diaplikasikan dengan menaburkan bahan higroskopis berukuran kurang dari 10 mikron ke dalam sistem awan yang baru tumbuh. Awan yang baru tumbuh tersusun atas 100 butir air tiap sentimeter kubik dengan ukuran yang seragam sebesar 10 mikron. Awan dengan keadaan seperti ini berada dalam keadaan stabil dan tidak berkembang. Jika ada suply uap air, awan ini akan tumbuh menjadi awan hujan setelah menyerap uap air sehingga ukurannya menjadi lebih besar dan bervariasi kemudian saling bertumbukan dan menggabung. Dengan mengaplikasikan metode competition mechanism maka kondisi awan terus dipertahankan untuk berada dalam kondisi stabil sehingga awan tidak bisa berkembang.
2. Jika metode pertama masih kalah akibat sangat kuatnya faktor pendukung pertumbuhan awan maka awan akan tetap tumbuh aktif. Dalam keadaan seperti ini maka dilakukan upaya mempercepat proses yang terjadi di dalam awan menggunakan metode 'proses lompatan' (jumping process). Dengan metode ini maka awan dipaksa untuk segera menjadi hujan sehingga tidak sempat menjadi sangat besar dan tidak menghasilkan curah hujan yang tinggi. Metode ini diaplikasikan dengan menaburkan bahan higroskopis dengan ukuran lebih dari 30 mikron. Metode ini mengadopsi sistem awan maritim di mana awan cepat menjadi hujan dengan intensitas yang rendah.
Untuk merealisasikan konsep di atas, UPT Hujan Buatan saat ini memiliki berbagai fasilitas canggih. Doppler weather mobile radar dengan radius pantau 150 km yang bisa berpindah-pindah mampu mendeteksi pertumbuhan dan pergerakan awan yang berada di dan sekitar Jakarta. Pesawat versi Rain Making yang dilengkapi dengan GPS (Global Positioning System) mampu menghantarkan bahan semai dengan pemilihan lokasi yang presisi.
Di samping itu masih banyak peralatan pendukung operasi TMC untuk mengurani curah hujan seperti AWS (Automatic Weather Station), perangkat pengukur udara atas, sistem komunikasi, dan lain-lain. Untuk menerapkan teknologi ini, UPT Hujan bisa bekerja mengurangi curah hujan penyebab banjir di sepanjang musim hujan dengan biaya kurang dari 10 persen dari biaya yang diajukan oleh Mischa Sui Moein.
*) Dr. Tri Handoko Seto adalah peneliti dan praktisi TMC di BPPT.
sumber