Namun, dosen Pasca Sarjana Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, dan peneliti di Pusat Studi Kebumian dan Bencana, Dr Putu Artama mengatakan, Bromo beda dengan Merapi.
Kata dia, gunung tersebut memiliki karakteristik atau model erupsi kecil. “Karakteristik yang dimiliki berbeda dengan gunung lainnya seperti Merapi yang tergolong high volcanic. Jika terjadi letusan, material yang dimuntahkan Bromo berupa pasir dan abu dengan kisaran radius 6 sampai 10 kilometer,” terang Dr Putu Artama kepada VIVAnews.com.
Material itu berbeda dengan yang dimuntahkan Gunung Merapi. Pada saat erupsi, Merapi menyemburkan lava pijar dan bebatuan. Juga awan panas ‘wedhus gembel’.
Bromo juga terbentengi oleh lautan pasir. Seperti diketahui, topografi Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah sekitar 800 meter (utara-selatan) dan 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 kilo meter dari pusat kawah gunung.
“Yang membayakan itu adanya semburan berwarna kekuningan, karena itu kandungan belerang dan sangat berbahaya jika terhirup,” tegas Putu Artama.
Sementara untuk kekuatan letusan, menurutnya tergantung keberadaan dapur magma. Semakin dalam dapur magma semakin kuat daya dorong atau muntahan yang dimiliki dan sebaliknya. Terkait itu, pemerintah harus melengkapi teknologi deteksi yang memadai.
Ditambahkan, untuk mengurangi frekwensi letusan sangat tidak mungkin. Sebaliknya yang perlu dilakukan adalah mengurangi dampak dari ‘ulah’ Gunung Tengger Purba tersebut.
Pihaknya menyarankan pemerintah tanggap dengan semua itu. Misalnya, dengan memberitahukan kepada warga sekitar tentang perkembangan yang terjadi. Seperti kapan saatnya untuk dikosongkan. Penentuan jalur evakuasi dan titik-titik pengungsian di radius yang aman.
“Kita harus memikirkan skenario yang terburuk. Ini yang seharusnya sejak di status ‘Awas’ sudah disiapkan. Di list, siapa yang diberi tanggungjawab dan pelaksananya. Berapa jumlah KK yang harus dievakuasi, kemudian ditempatkan dimana, radiusnya berapa untuk kategori aman dan tidak lupa mempertimbangkan pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat pengungsi. Serta untuk berapa lama mereka tinggal di pengungsian,” urainya.
Dihubungi terpisah, pakar Ilmu Geologi dan Kegunungapian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Amien Widodo menjelaskan, peningkatan status di Bromo harus diwaspadai. Masyarakat diminta untuk tetap tenang namun menyiapkan diri untuk menghadapi situasi darurat.
“Antara lain, menyimpan surat atau dokumen-dokumen penting dalam satu tas. Menyiapkan pakaian seperlunya dan makanan untuk kebutuhan mengungsi selama minimal 3 hari. Jangan terpancing isu-isu yang tidak jelas. Sebaliknya, selalu mendengarkan informasi dari yang berwenang,” kata Amien Widodo.
Untuk pemerintah juga harus tanggap. “Ungsikan dulu kelompok masyarakat renta dan lain-lain. Mengingat perubahan status bisa berubah setiap saat, bisa dini hari atau kapan saja,” pungkas Amien.