Di Kinahrejo: Mbah Maridjan bercengkerama dengan keluarganya di rumah.
Mbah Maridjan telah bertekad tak akan pergi, apa pun kondisi Gunung Merapi. Ia tak mau mengecewakan tamu yang datang ke rumahnya di Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. "Lha, saya di sini kerasan," kata juru kunci Merapi itu kepada Tempo, yang bertamu Senin pekan lalu.
Jumat pekan sebelumnya, Maridjan pergi ke Bandung. Besannya, mertua anak nomor empat, meninggal di sana. Ditinggal tiga hari hingga Ahad, tetamu terus datang. Rumahnya memang selalu ramai, terutama oleh para pendaki gunung.
17.18
Merapi menyemburkan awan panas 4 menit.
Empat mobil, satu di antaranya bertulisan "Perusahaan Listrik Negara", tiba di rumah Mbah Maridjan. Agus Wiyarto, mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul, datang. Ia tiba bersama Tutur Priyanto, relawan Palang Merah Indonesia, dan wartawan Yuniawan Wahyu Nugroho.
Kepada Tempo, sehari sebelumnya, Maridjan menggambarkan pribadinya. "Kulo niki Gareng, wong cacat. Yen ngomong clemang-clemong, wong cilik tur goblok," katanya. Ia mengibaratkan dirinya Gareng, salah satu punakawan dalam pewayangan, yang digambarkan cacat dan suka bicara ceplas-ceplos. Pria 83 tahun ini ditunjuk Keraton Yogyakarta menjadi juru kunci Merapi pada 1982, ia bergelar Mas Penewu Surakso Hargo. Ketika ditemui, ia bercelana pendek hitam, berkemeja batik hijau, berpeci hitam. Ia banyak berkelakar.
Selasa sore itu, Merapi semakin bergejolak. Mbah Maridjan tak beranjak.
17.23
Merapi menghamburkan lagi awan panas 5 menit.
Mbah Maridjan masih menerima tamu. Langit di ufuk barat merah bara.
17.30
Merapi memuntahkan awan panas 2 menit.
Asih, putra Mbah Maridjan, menyerukan azan magrib lewat pengeras suara masjid di samping rumah.
17.37:
Merapi mengeluarkan awan panas 2 menit.
Asih memimpin salat. Baru mengancik rakaat pertama, sirene meraung-raung. Tamu Mbah Maridjan dan keluarganya dievakuasi dengan dua mobil ke Umbulharjo, sekitar dua kilometer dari Kinahrejo. Maridjan bertahan.
17.42
Merapi mengeluarkan awan panas besar 33 menit.
Tutur Priyanto dan Yuniawan balik lagi buat menjemput Mbah Maridjan.
18.00
Merapi menggemuruh hingga 45 menit.
Tak ada kabar dari Kinahrejo. Dari pos Umbulharjo, Agus Wiyarto menelepon Tutur tapi tak dijawab.
18.16
Merapi menyemburkan awan panas 38 menit.
Tetap tak ada kabar dari Kinahrejo.
18.54
Awan panas Merapi reda.
Mbah Maridjan belum diketahui nasibnya.
Cemas menyergap. Anggota tim penyelamat yang kebanyakan mengenal Mbah Maridjan khawatir pada keselamatannya.�Setelah aksi Merapi mereda, 20 anggota tim berangkat menuju Kinahrejo. Sekitar 800 meter dari tujuan, rombongan tak bisa masuk. Banyak pohon tumbang melintang. Mereka meminta bantuan posko SAR di Gondang, satu kilometer dari situ, untuk membawakan gergaji mesin. "Setelah jalan terbuka, kami bergerak," kata Ferry Ardyanto, anggota tim SAR.
Baru jalan beberapa meter, tim menemukan satu jenazah pria. Tim bergerak lagi dan menemukan dua orang selamat. Satu di antaranya mereka kenali: Udi Sutrisno, adik Mbah Maridjan. Ia akhirnya meninggal di rumah sakit karena luka bakar parah. Bergerak beberapa meter lagi, mereka menemukan pria renta selamat. Tim terus bergerak di jalan menanjak. Di perempatan jalan sebelum rumah Mbah Maridjan, mereka menemukan tiga mayat.
Mereka naik. Di situ bertemu dua orang yang masih hidup. Dari tempat itu, terdengar suara, "Tulung..., tulung...." Ternyata seorang perempuan yang seluruh bajunya terbakar, kulitnya melepuh. Mereka terus bergerak. Di satu rumah yang hancur, tim menjumpai, ya Tuhan..., jasad seorang ibu muda dalam posisi menyusui bayi yang baru berusia 35 hari. Dua makhluk tak bernyawa. Kelabu oleh debu. Di rumah itu, tim juga menemukan suami wanita itu ikut tewas. Juga orang tua dan kakek si perempuan.
Di depan pekarangan rumah Mbah Maridjan, anggota tim SAR, Martono Arbi Wibisono, mengucap salam dengan histeris. "Assalamualaikum," teriaknya berulang-ulang. Martono menangis. Ia terenyuh menyaksikan rumah si Mbah hancur. Pria 46 tahun ini mengenal sang juru kunci sejak remaja, ketika menjadi pencinta alam. "Hati saya bicara, Mbah sudah wafat," katanya. Tapi ia segera bisa menguasai diri.
Sebelum turun ke rumah Mbah Maridjan, yang lebih rendah dari jalan, tim dibagi jadi dua kelompok. Satu kelompok dipimpin Capung Indrawan, bertugas menyisir masjid di depan rumah. Mereka ingat letusan 2006, Mbah sedang di masjid. Ternyata ia tak ditemukan di sana. Perpustakaan masjid juga kosong.
Mereka menemukan jenazah Sarno Utomo, yang biasa menyerukan azan, dan Slamet Adi, adiknya. Mereka tinggal tak jauh dari masjid. Menurut Asih, anak Mbah Maridjan, Sarno dan Slamet, menjadi anggota jemaahnya pada petang itu. "Mereka tak terangkut karena mobil sudah penuh," katanya.
Satu kelompok lagi dipimpin Martono menyisir rumah. Tiba di halaman, mereka menemukan mayat di belakang mobil Suzuki APV. Mesin mobil tetap hidup, semua pintunya terbuka. Mayat ini langsung mereka kenali sebagai Yuniawan, sang wartawan. Di sebelah jenazah ada tas, di dalamnya tiket pesawat Sriwijaya Air Jakarta-Yogya atas namanya. Dalam tiket tertera, ia tiba dari Jakarta pukul 13.30 siang harinya.
Menurut Agus Wiyarto, sebelum terbang ke Yogya, Yuniawan menghubunginya. Wartawan itu minta tumpangan untuk berangkat bareng ke Kinahrejo. Rupanya, pesawat Yuniawan telat. Baru sekitar pukul empat sore tiba. Agus dan Yuniawan bertemu di Jalan Kaliurang, Yogyakarta, utara kampus Universitas Gadjah Mada. Agus, Tutur, dan Yuniawan berangkat bersama ke Kinahrejo.
Tim menemukan lagi dua mayat di dalam rumah Mbah Maridjan. Satu di antaranya Tutur, relawan PMI. Tutur punya pengalaman menjadi relawan ketika tsunami Aceh, gempa Yogya, dan gempa Padang. Ketika tim sedang berusaha keras mencari Mbah Maridjan, Asih tiba. Ia tak kuasa menahan tangis melihat rumah yang ia tinggali bersama ayah, ibu, juga anak dan istrinya sudah tak berbentuk. Mbah Maridjan belum diketahui nasibnya.
Asih mengatakan Selasa malam itu sebenarnya ingin menyampaikan titipan Keraton Yogyakarta agar Mbah Maridjan menyembelih kambing hitam. Buat melengkapi sesaji, ia diminta menyediakan kelapa, pisang, dan bunga tiga warna. Hingga di depan rumah, Asih kelu. Ia berpikir, ayahnya sudah meninggal.
Larut malam, tim menghentikan pencarian. Mereka bekerja lagi Rabu subuh. Rumah Mbah Maridjan ditelusuri kembali. Sebagian anggota tim melakukan penyisiran di sekitar rumah. Tiba-tiba Martono berteriak. Ia memanggil semua anggota tim mendekat. Ia berdiri dekat kamar 5 x 3 meter di belakang dapur. Menurut Asih, kamar ini dibangun beberapa tahun lalu, agar jika anak-cucu berkumpul tak kekurangan ruang tidur.
Di kamar itu jenazah dalam posisi sujud, menghadap selatan-arah pusat Kota Yogyakarta. Jenazahnya tertutup rangka rumah dan batang pinus yang menimpa tembok kamar. Pecahan asbes dan abu membuat badannya memutih. Pintu kamar masih berdiri. Martono mengenalinya sebagai Mbah Maridjan dari tengkuk dan kepalanya. Setelah semua penghalang disingkirkan, tim membersihkan abu yang menempel di jenazah. Syahadat, salawat, dan tahlil digumamkan. Setelah bersih, jenazahnya dibawa ke Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. "Saya lihat telapak tangannya masih halus utuh karena menempel ke lantai," kata Martono.
Keganasan awan panas Merapi malam itu merenggut 36 nyawa, termasuk Mbah Maridjan. Awan panas 600 derajat Celsius membakar tubuh mereka. Petaka pada Selasa malam itu juga membuat sejumlah dusun yang semula rimbun menjadi mirip padang pasir, tandus terbakar. Awan panas-penduduk sekitar menyebutnya wedhus gembel atau domba-merusak Desa Umbulharjo dan Kepuharjo. Belum ada identifikasi pasti jumlah rumah rusak, hewan ternak mati, dan harta benda lain yang ludes.
Sabtu dinihari pekan lalu, gunung yang tingginya hampir 3.000 meter ini masih beraksi. Gunung teraktif di dunia itu menyemburkan awan panas, abu, dan menimbulkan suara gemuruh. Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilanda hujan abu.
Sehari sebelumnya, awan panas menyembur kembali hingga tiga kali. Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta Subandrio mengatakan bahwa krisis baru berakhir jika sudah terbentuk kubah baru disertai muntahnya lava pijar. "Ancaman Merapi masih serius," katanya.
Merapi mulai menggeliat sejak September lalu. Gemuruh dari perutnya makin kerap terdengar. Status awas atau "kritis hampir meletus" ditetapkan tiga hari sebelum semburan yang menewaskan Mbah Maridjan dan 35 orang lainnya.
Kini Mbah Maridjan menghuni "rumah" barunya di pemakaman Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Sang Gareng dikuburkan, Kamis pekan lalu, persis di sebelah barat pusara kakeknya. "Nyuwun donganipun, mugi Mbah dipun tampi Gusti Allah, nggih," kata Ponirah, istrinya.
Sunudyantoro, M. Syaifullah, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)
via: 1