Mereka adalah Mustafa, Robby, dan Fathi yang bertugas mengambil bantuan makanan di Pagai Utara untuk para korban. Juga ada seorang perawat bernama Kamal Putra.
Mereka terdampar di Samudera Hindia, tepatnya di dekat Malakopak. Sempat hilang kontak, Senin 22 November 2010 keempatnya akhirnya berhasil diselamatkan.
Salah satu relawan, Mustafa menceritakan kejadian tersebut. "Kami terombang-ambing sekitar 24 jam di perairan Samudera Hindia," ungkap Mustafa kepada VIVAnews, Selasa 23 November 2010.
Dia menambahkan, kapal kayu nelayan yang mereka sewa mogok di tengah laut. "Saat itu pukul 14.00, kapal sudah masuk ke Samudera Hindia, lalu tiba-tiba mesin kapal mogok di tengah laut. Kami terpaksa buang jangkar dan berusaha bertahan sambil memperbaiki kapal," kata dia.
Melepas baut mesin yang biasanya mudah jadi pekerjaan yang luar biasa sulit. Butuh enam jam. Kata Mustafa, itu karena mereka tidak memiliki kunci pas.
Tak ada makanan saat itu, perbekalan para relawan dan tiga ABK kapal hanya dua botol air mineral ukuran besar. "Awalnya kami panik, tapi kami berusaha tenang sambil berharap ada kapal yang lewat."
Dan benar, sekitar pukul 15.00 sebuah kapal longboat yang mengangkut penumpang melintas. "Kami panggil mereka, tapi tak berhenti. Mungkin mereka kira kami hanya sekedar melambaikan tangan," kata Mustafa, tertawa kecil.
Setelah diotak-atik, pukul 21.00 WIB mesin berhasil hidup. Namun kecepatannya sangat lambat, hanya 20 kilometer per jam.
"Dengan kecepatan seadanya kami jalankan kapal dan berlindung di balik pulau, dekat tanjung di Malakopak. Namun, malang, mesin kembali mati. Para relawan dan anak buah kapal terpaksa bermalam di tengah laut.
Mereka bertekad, akan menunggu sampai jam yang telah ditentukan. Jika bantuan tak datang, mereka terpaksa ambil risiko. "Alternatifnya, kami akan berenang menuju pulau, walau jaraknya jauh."
Lantas bagaimana mereka bisa selamat? Diceritakan Mustafa, Senin (22/11) sekitar pukul 07.00, mereka dikagetkan bunyi SMS masuk dari telepon selular milik relawan.
"Ini berarti di lokasi itu ada sinyal. Kami cari sinyal lalu menghubungi keluarga ABK yang punya kapak, juga teman-teman relawan di Sikakap,'" kata dia. Kemudian, tengah hari, sebuah kapal datang untuk menarik kapal kayu mereka.
Mustafa mengatakan, apa yang dialaminya adalah risiko yang harus dihadapi relawan di Mentawai. Ini bukan kejadian yang pertama relawan hilang kontak atau kapal tenggelam karena ganasnya laut.
"Kita pun sebenarnya sudah bersiap. Mesin kapal yang kami sewa baru saja diperbaiki. Semua mesin dalam kondisi optimal, kami tidak menyangka," kata dia.
Mengambil pelajaran dari kasus ini, Mustafa mengatakan ke depan pihaknya akan lebih mempersiapkan diri. "Kami beruntung punya basis religi. Tawakal, kalaupun ada sesuatu yang terjadi, kami pasrah."
• VIVAnews