Partai Demokrat jadi tempat nyaman perlindungan tersangka korupsi. Gejala pengistimewaan kader Demokrat dalam pemberantasan korupsi itu menjadi salah satu sorotan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam evaluasi setahun pemerintahan SBY di bidang korupsi, Minggu lalu. Peneliti ICW, Tama S. Langkun, menangkap tren, “Banyak kepala daerah yang terendus kasus korupsinya langsung berganti bendera partai, dan itu ke Demokrat,” ungkapnya.
Sebagai partai berkuasa, Demokrat seolah menjadi juru selamat. Tama mencatat, dari 11 kader Demokrat yang tersangkut korupsi, enam orang adalah pindahan dari partai lain. Agusrin, misalnya, semula diusung PKS dan PBR ketika menjadi gubernur periode pertama.
Dua Ketua DPD Demokrat lainnya yang terbelit perkara korupsi juga pindahan dari partai lain. Djufri, Ketua Partai Demokrat Sumatera Barat, tadinya diusung Partai Bulan Bintang ketika menjabat sebagai Wali Kota Bukittinggi. Sukawi Sutarip, Ketua Partai Demokrat Jawa Tengah, semula usungan PDI Perjuangan ketika menjadi Wali Kota Semarang.
Tama menganalisis, penegak hukum cenderung cepat menangani perkara korupsi kader non-Demokrat. “Kalau dari Demokrat, cenderung macet,” paparnya. Bila dirinci lagi, perkara kader Demokrat yang macet umumnya ditangani kejaksaan. Dari 11 perkara kader Demokrat, lima di antaranya macet. “Kelima perkara yang macet itu ditangani kejaksaan. Sedangkan enam perkara yang ditangani KPK tidak mengalami kendala,” ujarnya.
Kesan Demokrat sebagai tempat nyaman bagi tersangka korupsi memperkuat citra bahwa berbagai pernyataan SBY dalam pemberantasan korupsi hanya basa-basi. Para tersangka korupsi didorong maju jadi calon kepala daerah. Ada yang menang, seperti Agusrin di Bengkulu. Ada yang kalah, seperti Sukawi Sutarip di Jawa Tengah. Sensitivitas Demokrat dalam agenda antikorupsi diragukan.
Demokrat, bagi ICW, seharusnya menjadi contoh kesungguhan SBY memberantas korupsi dari lingkaran dekat. ICW sampai pada konklusi bahwa pernyataan SBY dalam pemberantasan korupsi hanya kosmetik. Selama setahun pemerintahan periode kedua, ada 17 pernyataan SBY yang terkait pemberantasan korupsi. Tapi hanya tiga (24%) yang terealisasi.
Contoh pernyataan yang tidak terbukti, menurut ICW, pada 16 Agustus lalu, SBY berpidato untuk bersama-sama memberantas korupsi. Tetapi besoknya, pada 17 Agustus, presiden memberikan grasi, remisi, dan pembebasan bersyarat untuk para koruptor. Jumlahnya mencapai 660 orang. “Itu rekor tertinggi,” ujar Tama.
Proses hukum cepat yang menimpa kader partai non-Demokrat dan lambannya penanganan perkara kader Demokrat, dalam pandangan Denny Kailimang, Ketua Divisi Advokasi dan Penegakan Hukum DPP Partai Demokrat, tidak bisa dibandingkan. “Kalau dibandingkan, berarti tidak mengerti hukum,” kata Denny. “Seharusnya dilihat syarat pembuktiannya. Kalau tidak ada bukti, masak harus dicari-cari.”
Jika ada kasus yang belum selesai, menurut Denny, yang harus ditanya kejaksaan, kepolisian, atau KPK. “Jangan menyerang partainya,” kata Denny. “Nggak ada sama sekali tebang pilih.” Bahwa Demokrat tetap mengajukan kader yang berstatus tersangka sebagai calon kepala daerah, menurut Denny, itu bukan berarti Demokrat tidak sensitif pada isu korupsi.
Kata Denny, posisi Demokrat dalam pemberantasan korupsi sangat tegas. “Siapa pun kader Demokrat, silakan diperiksa, dan kalau ada cukup bukti, silakan ditahan. Demokrat tidak ada tebang pilih. Kami sudah mendengungkan pemberantasan korupsi. Tidak ada kader yang kami lindungi. Kalau cukup bukti, silakan ditangkap. Kami nggak akan menghalangi tindakan kejaksaan dan KPK,” paparnya. [GATRA]