Sejak kecil Clinton Sipes hidup dengan atmosfir kekerasan dalam keluarganya. Ia sering menjadi korban kekerasan fisik dan amarah ayahnya yang seorang pecandu minuman keras. Ia pun tumbuh menjadi seorang remaja yang memiliki perilaku anti-sosial dan senang melakukan kekerasan pada siapa saja, pada kakak lelakinya, pada teman sekelasnya, guru-guru bahkan pada hewan. Kekerasan yang dilakukan Sipes bahkan sudah dalam level sadis.
Semasa remaja, Sipes lebih suka bergabung dengan geng anak-anak muda yang juga bermasalah seperti dirinya, mengkonsumsi minuman keras, narkoba, melakukan tindak kriminal, kekerasan dan rasial. Pada usia 13 tahun Sipes harus menjalani kehidupan di penjara anak-anak dan yang menyedihkan, kondisi di sekolah yang katanya untuk mereformasi perilaku anak-anak bermasalah itu malah memberi pengaruh yang bertambah buruk pada Sipes.
Kecenderungan Sipes melakukan kekerasan dan bersikap rasial makin menguat. Sipes benci warga kulit hitam, yahudi, asia dan pada birokrat. Setelah tiga tahun di lembaga pemasyarakatan anak-anak, Sipes bebas dan ia menjadi "granat" yang siap meledak.
Untuk menyalurkan hasrat kekerasannya, Sipes bergabung dengan kelompok-kelompok rasis dan sering ikut dalam "operasi penyerangan" terhadap kelompok etnis tertentu dan ia terlibat dalam berbagai aktivitas kriminal. Sehingga pada usia 16 tahun, Sipes kembali masuk penjara di California. Ia divonis hukuman 6 1/2 tahun atas tuduhan perampokan dan kepemilikan serta penggunaan senjata api.
Di penjara itu, Sipes bergabung dengan kelompok "supremasi kulit putih" yang membenci semua orang yang bukan keturunan "Anglo Saxon." Ia pun mulai melakukan korespondensi dengan kelompok Klu Klux Klan (KKK) yang kemudian meminta pembebasan dirinya dengan jaminan. Setelah bebas, Sipes aktif dalam kelompok KKK selama 3-4 tahun. Ia dan kelompoknya melakukan serangan di malam hari, melakukan pengeroyokan dan merusak properti miliki orang lain. Hingga ia harus keluar masuk penjara karena melanggar pembebasan dengan jaminan yang diberikan otoritas penjara dan itu terus terjadi sampai Sipes berusia 20 tahun.
Pada usia itu pula Sipes mulai merindukan kedamaian dalam jiwanya. Ia menyesali keburukan-keburukan yang telah dilakukannya selama ini dan perasaan itu sering membuatnya kalap dan menumpahkan segala kemarahan dan kebenciaannya terhadap dirinya sendiri, pada sipir-sipir penjara. Seringkali ia terbangun dalam keadaan setengah telanjang di dalam sel isolasi. Kesendirian di sel isolasi itu membuatnya merenungkan kembali masa lalunya dan hal-hal negatif yang dilakukannya.
"Ketika saya masih di penjara, anak perempuan saya lahir. Saya mulai memikirkan masa depan. Saya mulai memikirkan betapa banyak korban yang jatuh akibat ulah saya. Saya bisa melihat diri saya seumur hidup akan berada dalam penjara, tanpa masa depan," tutur Sipes.
"Jauh di lubuk hati saya berkata 'Clint, kamu harus memilih antara keburukan atau masa depan yang baik'. Jelas jika saya memilih keburukan, saya tidak akan punya masa depan. Keluarga saya, ibu, kakak, mereka semua akan takut pada saya. Mereka akan menjauhi saya," sambungnya.
Pemikiran itu yang mendorong Sipes untuk menyembuhkan penyakit "kanker" amarah dan kebencian dalam dirinya. Ia ingin mencintai dan dicintai seperti layaknya yang diiginkan setiap orang. "Saya tidak mau membenci lagi," tukasnya.
Setelah menyelesaikan masa tahanannya dan lolos dari syarat pembebasan dengan jaminan, di kota Montana Sipes mulai melibatkan diri dengan organisasi-organisasi hak asasi, terutama yang memberikan perlindungan pada anak-anak. Ia membantu anak-anak yang memiliki problem yang pernah ia alami pada masa kecil. Meski demikian, Sipes masih juga belum sepenuhnya melepaskan diri dari aktivitas kriminal hingga ia harus masuk penjara lagi selama tiga tahun atas tuduhan memiliki bahan-bahan peledak.
Mengenal Islam
Di penjara federal itulah ia berjumpa dengan seorang muslim Amerika keturunan Afrika yang bertugas membantu para tahanan yang membutuhkan bantuan. Dari orang itulah muncul keingintahuan Sipes pada Islam. Ia berpikir bahwa Islam adalah agama eksklusif hanya untuk orang Amerika keturunan Afrika. Sebagai orang kulit putih, Sipes menolak agama Islam.
Meski demikian, Sipes tetap menanyakan banyak hal tentang agama Islam dan mulai berpikir positif tentang Islam sebagai agama yang ajarannya universal tidak mengenal etnis atau ras. "Saya mulai tertarik. Buat saya, Islam kedengarannya sangat nyata dan murni," kata Sipes.
Muslim Amerika keturunan Afrika itu lalu mengajak Sipes untuk melihat pelaksanaan salat Jumat yang dilakukan berjamaah dan memberinya Al-Quran. Sipes membaca terjemahan Al-Quran dan mengaku merasakan kebenaran dan kemurnian ajaran yang tertulis dalam Al-Quran. Sipes makin merasakan getaran hatinya pada Islam ketika ia mendengar suara azan. "Saat itu saya merasa kedekatan Tuhan di dalam hati dan jiwa saya," ujarnya.
Setelah melakukan riset dan mempelajari Al-Quran saya menemukan kesempurnaan ajaran Islam, tidak ada kontradiksi di dalamnya. Tidak seperti ajaran agama lainnya yang meyakini banyak Tuhan atau berhala, Islam adalah agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Allah itu Esa. Sipes juga kagum dengan "mukzizat Al-Quran" kitab suci yang sudah berumu ribuan tahun tapi kemurniaannya tetap terjaga. Tak ada satupun kata bahkan huruf dalam Al-Quran yang diubah atau berubah.
Setelah mengenal agama Islam, sedikit demi sedikit perilaku Sipes berubah. Dari orang yang banyak menimbulkan masalah, penuh kebencian dan amarah, Sipes menjadi orang yang lebih tenang. "Islam memberikan saya kebutuhan spiritual, ketenangan dan kedamaian dalam diri yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Dengan Islam, tujuan hidup saya jelas, ke arah jalan yang lurus," ungkap Sipes.
Sipes pun memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menggunakan nama Abdus Salam. "Alhamdulillah, setelah saya menemukan kebenaran Islam dan menjadi seorang muslim, saya merasa terlahir kembali dan ingin tumbuh menjadi manusia baru yang baik dan mengabdi pada Allah Swt," tandas Abdus Salam Clinton Sipes. (ln/IFT)