Isu bahwa Israel terlibat dalam serangan 11 September 2001 lalu memang sudah lama muncul ke publik. Namun, baru-baru ini, media AS, New York Times (NYT), berani mengaitkan Israel dalam serangan yang membuat luluh lantak gedung World Trade Center (WTC) itu.
NYT mengaitkan adanya keterlibatan Israel karena terungkapnya sebuah nama Ali al Jarrah. Ali adalah seorang agen Mossad, dinas rahasia Israel. Nah, Ali ini merupakan sepupu Ziad al-Jarrah, yang merupakan salah satu pembajak pesawat dalam tragedi itu. Tulisan NYT ini juga dibahas oleh American Free Press.
Namun, tidak dijelaskan secara jelas bagaimana hubungan Ali Al Jarrah dengan Ziad al Jarrah. Apakah karena saudara sepupu, sehingga Ziad juga pasti menjadi agen Mossad juga? Tidak jelas.
Namun, NYT menulis ada kemungkinan Ziad al-Jarrah direkrut Ali al Jarrah sebagai agen Mossad. Bisa jadi Ali menginginkan kader yang lebih muda untuk Mossad. NYT juga menulis bahwa antara Ali dan Ziad mungkin tidak mengenal satu sama lain.
Ali al-Jarrah telah bekerja sebagai agen Mossad selama 25 tahun. Pria muslim dari Libanon ini mengkhianati negaranya sendiri. Ia bertugas untuk mengumpulkan data intelijen tentang kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan Hizbullah. .
Jika kemungkinan Ziad juga agen Mossad, berarti bukan pertama kali Israel merekrut orang Muslim untuk bekerja untuk dinas rahasia. Pada serangan bom pertama terhadap WTC tahun 1993 lalu, Israel juga merekrut Ahmad Ajaj, seorang warga muslim dari Tepi Barat Palestina.
Ajaj disebut-sebut merupakan pentolan Intifada. Tetapi faktanya dia tidak pernah terlibat dalam gerakan Intifada, Hamas atau gerakan perlawanan Palestina lainnya.
Israel memang sudah dikaitkan dengan serangan 11 September sejak dulu. Namun, belum ada fakta yang kuat mengenai hal ini. Indikasi yang pernah disebut adalah tidak satu pun dari 3.000 pegawai Yahudi masuk kerja pada hari itu. Tidak mungkin 3.000 orang sakit atau cuti secara bersamaan, tanpa ada sesuatu di baliknya. (detik-Rabu, 11/03/2009 07:14 WIB)
Serangan teroris 11 September 2001 terhadap gedung kembar WTC dan Pentagon di Amerika Serikat (AS) sudah hampir tiga tahun berlalu, namun tragedi ini masih menyisakan banyak pertanyaan dan kontroversi. Di antaranya adalah, benarkah pemerintahan Presiden George Walker Bush memang sungguh-sungguh kecolongan? Benarkah Bush dan para pembantu dekatnya lalai dalam merespon ancaman teroris? Jika benar, mengapa ini bisa terjadi?
Seperti diberitakan berbagai media massa, mantan penerjemah Biro Investigasi Federal AS (FBI) Sibel Edmonds, dalam wawancaranya dengan harian The Independent di Washington DC, AS, menuduh pemerintahan Bush memilih tetap diam meskipun pihak intelijen menyampaikan informasi yang rinci tentang rencana serangan teror dengan menggunakan pesawat.
Bahkan sudah diinformasikan bahwa para terorisnya sudah berada di tempat beberapa bulan sebelum 11 September 2001.
Kepada komisi nasional independen untuk investigasi tragedi 911 yang dibentuk Kongres AS pada November 2002, Edmonds mengakui bahwa beberapa bulan sebelum September 2001 ia — yang pernah masuk dalam daftar top-secret di bidang keamanan itu – sudah memperingatkan adanya rencana serangan dengan menggunakan pesawat terbang, dan bahkan ia menekankan tentang para teroris yang sudah siap di tempat masing-masing untuk melakukan aksi.
Namun, Edmonds yang memberikan kesaksiannya di depan komisi investigasi pada 11 Februari 2004, menuding pemerintahan Bush justru memintanya untuk diam. Lalu, muncul instruksi dari pengadilan untuk menganggap informasi itu sebagai “rahasia negara”. Edmonds hanya satu dari sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS yang sudah dan akan dimintai kesaksiannya oleh tim investigasi. Presiden Bush, Wapres Dick Cheney, dan mantan Presiden Bill Clinton pun termasuk yang akan dipanggil oleh tim investigasi yang diketuai Thomas Kean, mantan Gubernur New Jersey dari Partai Republik.
Kesaksian Sibel Edmonds yang memberatkan Bush tentu membuat gerah para pendukung sang presiden yang tengah berjuang untuk dapat terpilih kembali pada Pemilu AS, November nanti. Apalagi Bush ingin dicatat dalam sejarah sebagai presiden pertama AS yang paling serius memerangi terorisme, sebagaimana yang diperlihatkan dalam keberhasilannya menghancur-leburkan Afghanistan dan Irak, dua negara yang dituduhnya sebagai sarang dan dalang terorisme internasional.
Tetapi, Edmonds bukan yang pertama. Sebelumnya, Richard Clarke yang pernah bertugas di badan kontraterorisme sejak masa kepresidenan Ronald Reagan hingga ia mengundurkan diri pada Januari 2003 itu mengatakan, Presiden Bush mengenyampingkan masalah penanganan terorisme termasuk yang dilakukan Alqaidah (USA Today, 20 Maret 2004). Namun, menurut Clarke, Bush ternyata lebih senang berbicara tentang Irak. Dengan kata lain, Bush tak menganggap serius ancaman Alqaidah, karena terobsesi mencari pembenaran untuk menyerang Irak.
Kesaksian Clarke termuat lengkap dalam bukunya, Against All Enemies: Inside America’s War on Terror (Free Press, 2004), yang menurut CNN (26 Maret 2004), mengalami lima kali cetak ulang hanya dalam tiga hari setelah diterbitkan. Dalam bukunya Clarke antara lain menulis bahwa Penasihat Keamanan Nasional AS, Condoleezza Rice, sampai awal tahun 2001 tampak belum pernah mendengar nama organisasi Alqaidah (“Her facial expression gave me the impression that she had never heard the term before”). Namun, Rice justru skeptis terhadap peringatan yang diberikan Clarke.
Sebagai orang nomor satu di badan yang memberikan masukan sektor keamanan bagi presiden, Rice tidak seharusnya mengabaikan setiap peringatan akan adanya bahaya yang mengancam negaranya. Tak mengherankan jika sebuah jajak pendapat majalah mingguan Newsweek pascakesaksian Clarke menunjukkan hanya 57 persen calon pemilih bagi pemilu November mendatang yang menyetujui cara Bush menangani terorisme dan keamanan dalam negeri, atau turun drastis dari angka 70 persen dua bulan sebelumnya.
Bahwa Bush dan para pembantu dekatnya lebih tertarik menyerang Irak ketimbang mewaspadai ancaman terorisme, juga diungkapkan mantan Menteri Keuangan Paul O’Neill yang mengatakan bahwa Bush (juga Menhan Donald Rumsfeld) sudah berniat menyerang Irak jauh sebelum terjadinya serangan 11 September 2001. O’Neill, yang dipecat sebagai menteri pada Desember 2002 itu mengungkapkan, Bush langsung bersuara ingin menyerang Irak pada hari-hari pertama setelah memangku jabatan presiden pada Januari 2001.
Paul O’Neill mengutip dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa sejak awal 2001 pemerintahan Bush sudah mengkaji opsi-opsi militer untuk menyingkirkan Presiden Irak Saddam Hussein. O’Neill mengatakan, Bush sudah berketetapan untuk mendapatkan suatu alasan guna maju berperang ke Irak, kendati Bush sendiri konon pernah heran mengapa tak satu pun orang di Dewan Keamanan Nasional AS yang mempertanyakan mengapa Irak harus diserang.
Kesaksian O’Neill, Clarke, dan Edmonds hanya menambah deretan panjang bukti-bukti kebohongan Presiden Bush yang juga sudah dibeberkan David Corn dalam bukunya yang jadi bestseller berjudul The Lies of George W Bush: Mastering The Politics of Deception (Crown Publishers, 2003). Tapi, kembali ke pertanyaan awal, benarkah pemerintahan Bush benar-benar kecolongan atau lalai dalam mengantisipasi serangan teroris 11 September 2001?
Ketua tim investigasi, Thomas Kean, seperti dikutip CBS (17 Desember 2003), untuk pertama kalinya mengatakan, tragedi 911 seharusnya dapat dicegah. Kristen Breitweiser, salah seorang janda yang suaminya ikut menjadi korban tragedi 911 dengan kesal mempertanyakan, “How is it possible we have a national security advisor coming out and saying we had no idea they could use planes as weapons when we had FBI records from 1991 stating that this is a possibility”. Pemerintahan Bush juga dituding mengabaikan peringatan kantor FBI di Minnesota dan Arizona perihal adanya para siswa pilot yang mencurigakan.
Dalam bukunya, Stranger Than Fiction: An Independent Investigation of the True Culprits Behind 9-11 (Dandelion Books, 2003), Prof Albert D Pastore PhD, mengungkapkan dengan gamblang sejumlah keganjilan di balik tragedi 911. Di antaranya adalah, pertama, Angkatan Udara AS memiliki satuan khusus (NORAD) yang dilengkapi dengan sistem radar dan pesawat-pesawat tempur canggih.
Mereka bertugas selama 24 jam nonstop mengawasi seluruh wilayah udara AS, dan salah satu protap (prosedur tetap) mereka adalah menyergap pesawat komersial manapun yang melenceng dari jalur penerbangannya selama 15 menit. Tapi menjelang tragedi 911 ada sejumlah pesawat komersial yang melenceng selama 40 menit hingga 120 menit dan tak ada reaksi apa pun dari NORAD.
Kedua, Pastore mempertanyakan, mengapa baja-baja kerangka penyangga gedung WTC hanya dalam tempo dua hari setelah tragedi 911 langsung didaur ulang atas perintah langsung dari Walikota New York Rudy Giuliani. Sebagian didaur ulang di AS, tapi sekitar 70 ribu ton baja langsung dikirim ke Cina dan India oleh sebuah perusahaan bernama Metals Management. Padahal seharusnya tim investigasi diberikan kesempatan untuk meneliti baja-baja itu, guna memastikan apakah gedung-gedung itu memang hancur karena ditabrak pesawat atau karena sebab lain.
”The steel beams were quickly recycled before investigators even had the chance to look at them!,” tulis Pastore. Pasalnya, beberapa petugas pemadam kebakaran mengaku mendengar adanya bunyi ledakan bom di gedung-gedung itu. Dengan kata lain, bisa saja gedung-gedung WTC itu runtuh karena bom yang sudah dipasang terlebih dulu, bukan karena tertabrak oleh pesawat Boeing. Apalagi, menurut Pastore, ada satu gedung (WTC 7) yang runtuh kendati tak tertabrak oleh satu pesawat pun.
Ketiga, Pastore sangat meragukan versi resmi pemerintahan Bush yang — tanpa bukti-bukti akurat dan valid — langsung menuding kelompok Alqaidah sepenuhnya berada di belakang tragedi 911, kendati ia tidak mengenyampingkan aksi itu dilakukan oleh komplotan teroris Timur Tengah. Buktinya, video yang konon menggambarkan pengakuan Usamah bin Ladin (pemimpin Alqaidah) ternyata orisinalitasnya sangat diragukan. Ia menduga video itu hasil rekayasa belaka. Wajah Usamah yang ada dalam gambar video itu memang ternyata sangat berbeda dengan Usamah yang asli.
Bukti lain, menurut Pastore, 7 dari 19 anggota Alqaidah yang dituduh sebagai pelaku pembajakan, kini ternyata masih hidup. Ia juga mempertanyakan, mengapa pemerintahan Bush yang katanya sudah mengetahui adanya ratusan anggota Alqaidah yang menyusup ke AS tapi ternyata tak berhasil menangkap satu pun dari mereka. Pastore mengutip laporan The London Times bahwa “Thousands of FBI agents have rounded up more than 1,300 suspects across America since September 11, but they have failed to find a single Alqaidah cell operating in the United States…Tom Ridge, Director of Homeland Security could not explain why none had been caught.”
Tragedi 911 sudah memakan banyak korban. Tidak hanya sekitar 3.000-an warga sipil yang ada di gedung-gedung WTC atau di dalam pesawat terbang komersial yang dibajak para teroris itu saja, melainkan juga ribuan warga sipil di Afghanistan dan Irak yang menjadi korban balas dendam militer AS dan sekutunya. Belum lagi jutaan warga sipil di berbagai belahan bumi yang dicekam rasa ketakutan luar biasa karena setiap saat dapat dikenai tuduhan (tanpa bukti) terkait dengan jaringan para teroris pelaku tragedi 911.
Oleh sebab itu, pemerintah AS hendaknya mengusut tragedi 911 secara tuntas dan fair dengan tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia. Bukan sekadar mengembangkan opini dan kebohongan (sebagaimana dalam kasus invasi ke Irak). Sungguh suatu yang ironis, jika di satu sisi AS terus menekan negara-negara lain (termasuk Indonesia) untuk dengan serius membongkar dan menumpas habis jaringan teroris, tapi di sisi lain mereka sendiri justru tampak kurang serius, seperti terungkap dari kesaksian O’Neill, Clarke, dan Edmonds, maupun Pastore. Apalagi jika AS terus melegalkan bentuk-bentuk terorisme negara. (RioL)
Sumber Referensi: Vivanews/detik/BBC/AP/Reuters/AFP