Oleh Ninok Leksono
Hari-hari ini, wacana seputar gadget tampaknya didominasi oleh mulai dijualnya perangkat terbaru dari Apple Inc, yakni iPad. Seperti disampaikan dalam laporan utama Newsweek edisi terakhir, Senin (5/4/2010), ”Apa yang hebat tentang iPad?”, jawabnya ternyata ”segalanya”. Inilah pertaruhan Steve Jobs, Chairman dan CEO Apple, untuk merevolusi bagaimana orang membaca, menonton, main game, bekerja dengan komputer (computing), serta aktivitas riset dan industri di Lembah Silikon.
Karena terkait urusan membaca dan penerbitan, edisi Newsweek ini juga mengetengahkan artikel tentang masa depan kertas dan tinta yang ditulis oleh Anna Quindlen.
Aneh memang. Sebelumnya sudah ada perangkat serupa iPad berupa sabak (tablet) elektronik. Namun, gaung dan penjualannya tidaklah segegap gempita karya terbaru Apple ini. iPad bahkan sempat disebut hampir menyerupai mitos. Di hari pertama penjualan melalui pemesanan, ia langsung terjual 120.000, lalu di hari pertama penjualan di toko, terjual 300.000. Berikutnya, firma riset iSuppli memperkirakan, penjualan iPad tahun ini bisa mencapai 7,1 juta dan lipat tiga menjadi 20,1 juta pada tahun 2012 (The Wall Street Journal/WSJ, Selasa 6/4).
Menarik gerbong
Optimisme akan lahirnya revolusi di berbagai bidang ini membuat industri teknologi informasi harus memilih, apakah akan fokus untuk ikut gerbong Apple atau berpihak pada pesaing-pesaingnya. Namun, tarikan Apple tampaknya begitu kuat sehingga baik untuk aplikasi perangkat lunak maupun komponen perangkat kerasnya iPad sudah menarik begitu banyak minat.
Pengembang perangkat lunak tampaknya akan dipaksa untuk bertahan mendukung Apple dengan adanya iPad. Masalahnya, kalau harus memecah sumber daya untuk mengikuti pesanan aplikasi dari perusahaan lain, selain akan memberi beban terlalu berat bagi programmer, mereka juga bisa kehilangan peluang dari meledaknya penjualan iPad.
Sejak meluncurkan Apple Store, Juli 2008, Apple telah menjadikan toko ini sebagai pasar virtual besar, dengan memiliki lebih dari 150.000 permainan, hiburan, dan aplikasi lain. Pasar milik pesaing terdekatnya, Google Inc, hanya memiliki sekitar 30.000 aplikasi (Yukari Iwatani Kane, WSJ, Selasa 6/4).
Lain lagi cerita di bidang perangkat keras. Begitu iPad muncul di pasar, perusahaan yang bisnisnya membongkar (disassembling) dan menganalisis perangkat keras elektronik segera mendapat ide tentang kemampuan (performance) dan ketahanan (durability) iPad. Sabtu pagi, begitu iPad bisa diperoleh di pasaran, perusahaan pembedah ”jeroan” gadget elektronik, seperti iFixit Inc dan UBM TechInsights, segera membongkar iPad dan mengkaji komponen-komponennya.
Upaya mereka, seperti dilaporkan Don Clark (WSJ, Selasa 6/4), juga dibantu dengan keluarnya foto yang dibuat Komisi Komunikasi Federal dan disiarkan melalui situs web-nya. Komisi ini bertugas mengkaji peralatan canggih untuk diketahui apakah berpotensi mengganggu alat lain secara elektromaknetik.
Dari apa yang disampaikan oleh Apple dan juga dari ”bedah produk” diketahui bahwa Ipad yang didesain dengan teknologi yang sebagian sudah digunakan pada iPhone dan iPod Touch ternyata menggunakan cip flash memory buatan Samsung, Korea Selatan, dan Toshiba, Jepang. Samsung tentu mendapat penghasilan besar dengan digunakannya cip produksinya pada iPad karena ini merupakan salah satu komponen yang paling mahal dari alat mutakhir ini. Bila cip memori dibuat perusahaan Korea, baterai iPad tampaknya dibuat perusahaan Hongkong, Amperex Technology Ltd.
Merebut peluang
Sebagaimana juga terjadi dengan pembuatan produk lain, termasuk pesawat jet komersial Boeing 777, perusahaan Amerika ternyata juga sudah menerapkan prinsip memanfaatkan pemasok multinasional. Perusahaan teknologi informasi Asia sudah masuk begitu dalam di produk Amerika. Ini tentu karena perusahaan Asia tersebut sudah berhasil tidak saja dalam bidang inovasi, tetapi juga dalam manufakturing.
Inilah yang oleh pembaca Kompas Eddy OM Boekoesoe—mengomentari tema Laporan Iptek, Rabu (31/3/2010), tentang inovasi—sebenarnya menjadi problem lebih serius dari inovasi di Indonesia. Menurut dia, Indonesia sudah tidak kurang dalam hal inovasi.
Ia memberi ilustrasi tentang seorang pemuda Indonesia dari Tasikmalaya yang sekitar tahun 1990 memenangkan sayembara pembuatan puzzle dari kayu di AS. Pemenang sayembara ini diberi pekerjaan membuat puzzle tersebut 10.000 unit per bulan. Ketika ia mencoba memenuhi pesanan itu, di tengah jalan ia menyerah. Ternyata membuat barang sebanyak itu tidak mudah.
Cara berproduksi, yang di alam modern sekarang dikenal sebagai manufakturing, nyata sebagai tantangan riil bagi Indonesia dan kisah seperti pemuda Tasikmalaya di atas bukan cerita unik. Kita juga pernah mendengar adanya pesanan 1.000 mebel atau 1.000 buah durian yang ditolak karena banyak di antaranya tidak bisa mengikuti standar kriteria pemesan. Ada yang baik 10, atau 100, tetapi mulai ”ngawur” pada pesanan ke-200 atau 500. Nah, bagaimana kalau harus menjadi Samsung yang membuat puluhan juta cip untuk iPad dan produk elektronik Apple atau lainnya yang digemari di seluruh dunia?
Kini, di berbagai sektor, aktivitas manufaktur merosot atau bahkan kehilangan api. Bila berkelanjutan, situasi ini—yang sebenarnya juga belum berkembang pada masa lalu—bisa semakin meredupkan berkembangnya kecakapan bangsa Indonesia di dalam memproduksi sesuatu dalam jumlah banyak. Padahal, seperti kita lihat dalam iPad, peluang terbuka lebar untuk pemasokan komponen. Namun, peluang itu hanya akan bisa ditangkap oleh mereka yang sudah menguasai seni berproduksi dalam skala besar, yakni seni manufaktur.
Dalam wacana industri kreatif, seperti dikemukakan dalam buku The Long Tail (Chris Anderson, 2006), memang disebut peluang bisnis yang hanya perlu membuat produk sedikit saja, yang penting keragamannya diperluas. Dengan premis ini pula, eksklusivitas diunggulkan. Akan tetapi, selain itu, produk seperti iPod dan esok tampaknya iPad masih akan dominan. Di sinilah tantangan menguasai manufakturing masih tampak aktual dan relevan.